Tradisi Padusan yang Kian Berubah Bentuk

By , Kamis, 19 Juli 2012 | 18:20 WIB

Di kalangan masyarakat Jawa, tradisi padusan dikenal sebagai tradisi yang dilakukan sebelum melaksanakan hari puasa. Tradisi yang berasal dari Wali Songo ini dipercaya sebagai tradisi untuk membersihkan diri secara lahir batin sebelum menjalankan ibadah puasa.

Dahulu kala, tradisi ini dilakukan dengan mendatangi sumber mata air murni yang dipercaya warga dapat mendatangkan berkat. Mereka pun akan mandi besar, yakni dengan membersihkan badan dari ujung rambut hingga kaki.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta, tradisi padusan sudah ada sejak pemerintah Hamengku Buwono I. Tradisi ini dulu rutin diadakan sehari sebelum puasa di kolam-kolam masjid dan sumber mata air yang ditentukan oleh Keraton. Biasanya yang melaksanakan padusan pun hanya laki-laki dengan cara menceburkan diri mereka ke kolam, dilanjutkan dengan bermain air bersama di kolam tersebut. Sedangkan wanita dewasa tidak melakukan tradisi padusan bersama laki-laki di kolam tersebut.

Kerabat Keraton Yogyakarta Romo Tirun menjelaskan, memasuki tahun 1950-an, tradisi padusan di kolam masjid dan sumber mata air pun kian bergeser. “Kalau dahulu masyarakat harus mandi di kolam masjid atau datang ke sumber mata air, namun saat ini orang cenderung membersihkan diri di rumah masing-masing," kata Romo Tirun, Kamis (19/7).

Di sinilah paradigma baru tercipta, tambah Romo Tirun. Bahwa padusan lebih dimaknai orang sebagai pembersihan diri rohani dan fisik yang bisa dilakukan di mana pun dan bisa dilakukan sendiri.

Terkait sumber mata air yang dilakukan untuk padusan, Romo Tirun mengatakan, dipilih sendiri oleh Sultan yang menjabat. Ketika air tersebut sudah ditunjuk, maka warga pun dilarang untuk mencemarinya.

Namun, dengan meningkatkatnya jumlah penduduk dan pemukiman, maka air murni ini telah banyak dicemari warga. Sejak saat itulah, sumber mata air ini tidak lagi digunakan untuk padusan. Hal ini juga yang turut melaterbelakangi tradisi padusan di rumah masing-masing.

“Air itu sarana utama untuk ritual karena menjadi simbolisasi hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan demikian, air yang digunakan harus bersih dan murni,” ungkapnya.

Romo Tirun menyesalkan ritual padusan yang dilakukan pada masa-masa sekarang. Tren yang terjadi saat ini adalah padusan dilakukan bersama-sama atau laki-laki dan perempuan di tempat pemandian umum. Pakaian yang digunakan pun juga pakaian ketat.

“Filosofi dari padusan adalah membersihkan diri sehingga ketika kita melakukan harus benar-benar sesuai dengan ajaran agama. Misalnya, berpakaianlah yang sopan serta tidak bercampur dengan lawan jenis. Dengan demikian, makna tradisi padusan tetap terjaga meski zaman sudah berubah,” katanya lagi.

Pengelola Kantor Takmir Masjid Kauman Yogyakarta Waslan Aslam tak menampik penyesalan tersebut. Ritual padusan yang dilakukan sehari sebelum puasa sudah berubah saat ini.

Ia bercerita, dulu, masyarakat Yogyakarta akan datang berbondong-bondong di kolam masjid dan menceburkan diri di sana. Mereka pun tak menolak untuk datang ke sumber mata air yang kemungkinan jauh dari rumah mereka. Namun saat ini, orang sudah melakukan mandi besar di rumah masing-masing atau di kolam renang.

“Yang terpenting dari tradisi padusan adalah niat dalam diri untuk membersihkan diri. Untuk itulah ritual padusan bisa dilakukan dimana pun,” ungkapnya.