Mati lampu ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Selasa (31/7) lalu peristiwa mati lampu dialami India, peristiwa ini sekaligus menjadi salah satu pemadaman listrik terburuk di dunia. Ini dinilai sebagai titik puncak kegagalan pemerintah India dalam upaya memodernisasi dan memperkuat sistem pengiriman energi.
Pemadaman di kota New Delhi bukanlah suatu hal yang baru dan kerap kali terjadi. Namun, melihat durasi waktu pemadaman hingga 15 jam dan secara geografis menimpa wilayah yang cukup luas, ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Akibatnya kehidupan di India lumpuh total. Layanan kereta api berhenti, lalu-lintas di jalan raya macet total, tidak bergerak sama sekali karena lampu lalu lintas tidak berfungsi, orang-orang harus bekerja tanpa menggunakan AC pada suhu diatas 32 derajat Celcius.
Pemerintah setempat telah membentuk tiga tim panel untuk menganalisa penyebab terjadinya pemadaman listrik besar-besaran ini. Meski demikian, para ahli sebenarnya telah lama memperingatkan jika India menghadapi tantangan utama di bidang energi.
Sungguh ironis, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar sembilan persen per tahun, sementara 56 persen rumah tangga yang berada di pedesaan atau sekitar 400 juta orang, belum memiliki akses listrik sama sekali.
Diperkirakan pada tahun 2020 konsumsi energi per kapita akan mencapai dua kali lipat dari sekarang. Maka India dengan segera membutuhkan energi yang lebih banyak dan harus menggunakannya dengan lebih efisien.
Distribusi sumber energi menjadi masalah yang pelik dan kontroversial di India. Seiring dengan tumbuhnya kelas menengah dan kaya, pusat perbelanjaan pun kian menjamur, pembangunan gedung perkantoran, dan rumah tangga yang menggunakan AC semakin banyak, tentunya memakan energi yang banyak. Diperparah lagi dengan tingginya tingkat kehilangan energi akibat pencurian listrik dan distribusi yang tidak efisien.
Pemerintah India telah memikirkan energi masa depan untuk bahan bakar yang berasal dari energi nuklir dan energi batu bara. Akan tetapi kedua energi alternatif yang direncanakan itu masih menjadi dilema bagi pemerintah.
India berencana membangun pabrik nuklir terbesar di dunia yang terletak di dekat pelabuhan Jaitapur di pantai baratnya. Energi nuklir diharapkan dapat memberikan energi dengan jumlah besar tanpa karbon emisi untuk membatasi pertumbuhan emisi gas rumah kaca. Namun, proyek yang bernilai US$9,3 miliar ini, mendapat protes keras pasca tragedi bencana tsunami yang mengakibatkan bocornya PLTN Daiichi Fukushima di Jepang tahun lalu.
Energi alternatif batu bara juga menghadapi tantangan dalam hal biaya. Tata Power, perusahaan swasta terbesar yang bergerak di bidang utilitas elektronik, berencana membangun plant energi batu bara terbesar di dunia dengan daya 4.000-megawatt di Gujarat State, sebelah barat laut kota Mumbai. Namun, kenyataannya batu bara kini tergolong sebagai sumber energi yang mahal.
Terlebih lagi saat ini Tata saat ini sedang mengalami masalah finansial. Bulan ini saja, lembaga rating Standard & Poor's menurunkan prospek Tata Power dari stabil menjadi negatif karena pelanggaran perjanjian pinjaman pada proyek Mundra, yang hanya terselesaikan sebagian.
Dengan berbagai permasalahan energi yang dihadapi beberapa ahli menyarankan India harus segera memikirkan penggunaan energi terbarukan seperti energi surya dan energi angin. Meski pun India mengembangkan energi terbarukan, ini hanya memainkan peranan kecil dari keseluruhan energi yang dibutuhkan.
India sebagai negara dengan konsumsi energi keempat terbesar di dunia saat ini yang harus dilakukan dengan segera adalah menemukan cara untuk meningkatkan pasokan energi dan memodernisasi sistem distribusi. Bahkan PBB memperkirakan India dengan 1,2 miliar penduduknya akan menjadi negara paling padat pada tahun 2025 mengalahkan China.