Ini Tong Pu Hidup: Tangkapan Lensa untuk Lebih Mencintai Tanah Papua

By , Jumat, 3 Agustus 2012 | 14:00 WIB
()

Pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai Papua terbilang minim. Kabar yang terdengar dari pulau paling timur Indonesia ini didominasi oleh kekerasan dibanding kearifan masyarakat dan keindahan alamnya.

Padahal, beragam keelokan terpapar di Papua. Mulai dari lukisan kulit kayu di desa Suku Asai, atraksi Suku Kwerba, kreasi cat tubuh dalam suatu perayaan, atau pun keuletan para mama di pegunungan.

Semua ini terekam dalam tangkapan lensa Mitu M Prie dalam buku dan pameran foto "Ini Tong Pu Hidup", di Galeri Cemara, Jakarta, Kamis (2/8). Pameran dimulai Kamis kemarin dan akan ditutup pada 12 Agustus mendatang, mulai pukul 10.00-19.00 WIB.

Suasana pameran foto Ini Tong Pu Hidup di Galeri Cemara, Jakarta. Pameran dimulai tanggal 2 Agustus 2012 dan ditutup pada 12 Agustus 2012 mendatang. (Feri Latief)

"Saya berbagi cinta kepada teman-teman Papua. Pengalaman bekerja di Papua membuat saya lebih mencintai kebhinekaan dan spirit pluralisme," kata Mitu, yang hidup di Papua selama satu dekade, dalam sambutannya.

Menurut Yenny Zanuba Wahid, putri dari mantan Presiden Abudarrahman Wahid, pameran ini merupakan salah satu cara memanusiakan Papua. Karena membangun Papua tidak akan memberi hasil nyata bila tanpa ketulusan. Tapi musti diingat, membangun peradaban bukan artinya merusak.

"Papua istimewa. Bila kini Papua bergejolak, maka cara penyelesaiannya bukan dengan pendekatan politis saja, namun bagaimana mereka dimanusiakan kembali," ujar Yenny.

Selain dihadiri Yenny Wahid, acara ini dihadiri pula oleh Pemimpin Grup Medco Arifin Panigoro sebagai penyokong dana dan perwakilan Kepustakaan Populer Gramedia Candra Gautama. Sedangkan isi dari buku "Ini Tong Pu Hidup" merupakan gabungan dari sudut pandang para pakar ilmu sosial dan filsafat.

Di antaranya Bambang Sugiharto, budayawan Universitas Parahiyangan; Neles Tebay, dari Ilmu Filsafat Universitas Cendrawasih; John Jonga, pemenang Yap Thiam Hien award 2009; Agapitus E. Dumatubun, antropolog Universitas Cendrawasih; J. Emmed M. Prioharyono, antropolog Universitas Indonesia; dan terakhir Rudy Badil sebagai jurnalis senior.

"Rambut gimbal, kostum tarian hibrida, benda jualan yang tak lazim, becak, bahkan senyuman aneh, adalah tawaran metafor menarik yang ditawarkan foto-foto Mitu untuk memahami realitas Papua secara lain," kata Bambang Sugiharto.