“Kalau mau beli kicak, ya hanya saat Ramadhan saja. Itu pun biasanya harus lebih awal belinya karena selalu diburu oleh pembeli.”
Begitulah ungkapan Mbah Wono, perempuan berusia 80 tahun yang menjadi pembuat mula kue kicak. Mungkin tidak banyak orang tahu tentang kue tradisional ini, namun kue ini telah menjadi bagian dari budaya saat bulan Ramadhan tiba.
Mbak Wono memiliki nama asli Sujilah. Sejak ia bersuamikan Muhammad Wahono (alm), seorang mantri di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta, ia pun dipanggil Mbah Wahono atau Mbak Wono. Ketika ditemui di rumahnya, kampung Kauman, Gondomanan, Yogyakarta pada Jumat (3/7), Mbak Wono masih semangat untuk menceritakan asal mula kue ini.
Ia mengaku membuat kicak sejak tahun 1950. Ketika ditanya asal nama kicak, Mbak Wono pun mengaku tidak mengetahuinya. Ketika ia menjualnya, pembeli tiba-tiba menyebutnya kicak. Ia menduga, kicak adalah sebutan lain untuk jaddah.
Kicak terbuat dari jaddah (ketan yang ditumbuk halus), gula, parutan kelapa, nangka, pandan dan vanili. Bahan–bahan ini kemudian dicampur menjadi satu dan dikukus dengan kayu bakar. Dulunya ketan masih ditumbuk dengan alu sehingga proses pembuatannya lama. Namun sekarang, setelah muncul jaddah, tidak perlu lagi untuk menumbuk ketan.
Rasa kicak ini manis dan mengenyangkan sehingga tepat untuk mengganti energi setelah seharian berpuasa. Untuk menambah rasa nikmat, kicak pun dibungkus dengan daun pisang. Daun pisang juga berfungsi agar kicak tidak mudah bau.
Mbak Wono menjelaskan, kue ini hanya dijual dan diproduksi saat Ramadhan. “Lakunya hanya saat Ramadhan, kalau hari biasa tidak ada yang membeli. Karena itu, saya selalu menjualnya saat Ramadhan,”ungkap Mbak Wono.
Sejak Mbah Wono menciptakan kue ini, pembeli pun banyak yang berminat. Lebih lagi saat Ramadhan, bilik kecil Mbah Wono selalu ramai didatangi pembeli. Mulai saat itulah, orang-orang sekitar mulai meniru untuk memproduksi kicak dan menjualnya saat Ramadhan. Akhirnya kicak pun mulai memasyarakat di Yogyakarta sebagai panganan khas Ramadhan dan hanya bisa ditemukan di kampung ramadhan Kauman Yogyakarta.
Saat ini, Mbah Wono tak lagi membuat kicak. Kicak kemudian diwariskan oleh anak-anaknya. Walidah pembantu Mbah Wono mengatakan setiap hari ia menyiapkan kicak hingga 300 bungkus. Setidaknya dibutuhkan 13 kilogram ketan Jaddah, tiga kilogram gula, sepuluh butir kelapa muda, setengah kilogram nangka, daun pandan, dan vanili secukupnya. Proses memasaknya mulai jam 11.00 siang sampai jam 13.00 baru matang.
Kicak Mbah Wono yang dijual seharga Rp2.000 ini ternyata memang menjadi idola pembeli. Salah satu pembeli, Andre, mengatakan, kicak Mbah Wono berbeda dengan kicak lainnya. “Kicak Mbah Wono lebih manis dan sesuai dengan lidah orang Jawa. Campuran adonannya sangat pas sehingga sangat nikmat ketika disantap,”ungkapnya.
Salah satu pedagang di kampung ramadhan Kauman, Aminah juga mengaku selalu mengambil kicak dari Mbah Wono untuk dijual di lapaknya. “Meski banyak pesaing, banyak masyarakat mencari kicak Mbah Wono. Biasanya kami para pedagang memasang tulisan kicak made in Mbah Wono,” paparnya.