Jalak, Pralambang Bali Kembali Terbang Bebas

By , Senin, 6 Agustus 2012 | 15:50 WIB
()

I Ketut Agus Artana, SP, petugas lapangan Begawan Foundation melambai, mengajak saya mendekat. Jarinya menunjuk ke satu titik di atas, ke antara rimbun daun pohon besar. Mata saya harus menyesuaikan dari terik jelang siang Nusa Penida, ke situasi teduh pohon dekat Pura Ped itu … ya, saya melihatnya! Si putih jambul berkacamata biru itu sedang bertengger di dahan, tak jauh dari kotak sarang yang disediakan untuk bertelur.

“Tampaknya dia habis bertelur. Tadi dia terbang keluar dari sarang.” Ketut yang tiap pagi dan sore berkeliling ke 12 titik pelepasliaran jalak Bali (Leucopsar rothchildi) tak bisa menyembunyikan rasa gembiranya.

Hari itu, 20 Juli 2012, kami sempat pula singgah di titik Banjar Sental, Banjar Bodong, Pura Dalem Bungkut, dan Pura Puseh. Selain mengamati keberadaan 65 ekor jalak Bali dan keturunannya yang telah dilepasliarkan sejak Juli 2006, saya juga menangkap kelebat tekukur, cerucuk, kutilang dan burung sesap madu. Harendong (Lamtana camara), bekul (Zyzyphus mauritiana), dan buah singapur (kersen) yang tumbuh liar dan merupakan pakan alami jalak Bali pun sempat saya cicipi.

Nusa Penida di timur Bali ini memang pulau ideal untuk pelepasliaran jalak Bali setelah disurvei sejak 2004. Pada 2006, warga setempat dari 35 desa (kini berkembang menjadi 41 desa) bersepakat dengan Begawan Foundation untuk menerima pelepasliaran jalak Bali, dan menerapkan Awig-awig, hukum adat yang menerapkan denda dan pengucilan bagi pelanggar. Jalak bali terlindungi di sini, tak diganggu walau sesekali mereka pun menyantap pepaya dan pisang di pohon warga.

Program Pelestarian Jalak Bali ini dimulai pada 24 Juni 1999 ketika pasangan Bradley dan Debbie Gardner, pendiri Begawan Foundation, membeli dua pasang jalak Bali dari Inggris yang berhasil ditangkar menjadi 97 ekor pada November 2005. Mereka prihatin bahwa burung endemik yang dijadikan maskot Provinsi Bali pada 1991 ini saat itu hanya tersisa enam ekor hidup bebas di habitat aslinya, Taman Nasional Bali Barat.

Dari jumlah ratusan ketika pertama kali diamati pada 1910, menyusut drastis di alam karena perburuan liar. Upaya pelepasliaran kembali ke habitat aslinya pun terhadang perburuan liar kembali lantaran tergiur harga sepasang jalak Bali tak kurang dari Rp17,5 juta. Jadi, dipilihlah Nusa Penida yang terpisah dari daratan Bali sebagai rumah alam baru.

Keberhasilan progam pelepasliaran di Nusa Penida mendorong Begawan Foundation meneruskan upaya penangkaran. Bekerja sama dengan Cologne Zoo, Jerman, dan Jurong Bird Park, Singapura yang pada Juli-Agustus 2011 mengirim 23 jalak Bali mereka untuk memperkaya keanekaragaman genetik yang akan ditangkar di Pusat Penangkaran Jalak Bali Begawan Foundation yang berlokasi di Green School, Sibang, dekat Ubud.

Bila perkawinan hanya terjadi dari keturunan dua pasang jalak bali moyang mereka, dikhawatirkan akan menurunkan kualitas anakan.

Bayi jalak Bali (Leucopsar rothchildi) yang baru menetas. (Christantiowati/NGT)

Saya memang sedang beruntung. Dua hari sebelum ke Nusa Penida, di Sibang, 18 Juli 2012, Ngurah, perawat sarang dan kandang jalak Bali memberi saya kesempatan mengintip dua telur yang baru menetas di sarang dalam kandang.

Satu telur lagi yang berwarna kebiruan menunggu menetas. Memperkaya 32 pasang jalak Bali, dan 17 jalak Bali muda, remaja, dan bayi di kandang dan incubator perawatan. Begawan Foundation menargetkan jalak Bali mereka akan berjumlah 100 pada Agustus 2012. Cukup untuk program pelespasliaran berikutnya, kali ini di lokasi “baru”, habitat aslinya, Pulau Bali.

UPDATE

Drh I Gede Nyoman Bayu Wirayudha, direktur Friends of Nusa Penida Foundation, menanggapi artikel ini. Menurutnya, selama ini pihak yang menginisiasi kerja sama dengan masyarakat adat di Nusa Penida adalah Yayasan Pecinta Taman Nasional (Friends of the National Parks Foundation) yang dimulai dengan upaya pembentukan aturan adat, awig-awig ataupun perarem sejak 2004, yang didanai Yayasan Gibbon Indonesia.