Di Balik Arti Belanja pada Hari Raya

By , Rabu, 15 Agustus 2012 | 18:15 WIB

Hari raya seringkali menjadi momentum bagi banyak orang untuk membelanjakan uangnya. Tergiur oleh diskon, pemasukan tambahan dari Tunjangan Hari Raya (THR), dan kebiasaan masyarakat yang mengharuskan baju terbaik saat hari perayaan.

Sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Zuly Qodir menjelaskan, fenomena belanja di Indonesia khususnya saat hari raya dimulai sejak tahun 1990-an. Waktu itu terjadi adanya perubahan zaman dari agraris ke industri.

“Sejak zaman industri itulah belanja menjadi bagian dari gaya hidup yang berpacu dalam persaingan, kepanikan, bahkan pertunjukan kegilaan akan barang-barang produksi,“ ungkap Zuly di Yogyakarta, Rabu (15/8).

Belanja, lanjutnya, digunakan oleh kaum kapitalis untuk menaikkan keuntungan sebesar-besarnya hingga masyarakat menjadi tergantung dengan barang produksinya. Inilah yang menjadikan realitas baru dalam kehidupan masyarakat.

Keberadaan mal, supermarket, hypermarket, atau pusat-pusat perbelanjaan lain, adalah wujud pembuatan kelas sosial baru dalam kehidupan sehari-hari. Belanja akhirnya digunakan sebagai cara menaikkan citra diri sekaligus menaikkan kelas sosial seseorang.

“Belanja merupakan sarana membangun jarak sosial dalam masyarakat. Barang belanjaan, tempat belanja, dan merk belanjaan adalah identitas sosial yang maha penting,” katanya.

Di Indonesia, belanja akhirnya mengarahkan pada konsumerisme. Konsumerisme inilah yang menyebabkan seseorang seringkali tidak merasa puas dengan apa yang dimilikinya. Akibatnya, orang akan belanja produk yang tidak dibutuhkan karena tergiur dengan berbagai macam bonus.

Ekonom dari Universitas Muhammadiyah Yogyakara Ahmad Ma’ruf, tak menampik jika hari raya menjadi pesta kemenangan bagi kaum pemodal. Para pelaku bisnis memanfaatkan momentum hari raya untuk memberikan bonus besar-besaran.

“Para pelaku bisnis menganggap wajar apabila masyarakat mengeluarkan extra cost dalam tradisi hari raya. Untuk itulah provokasi iklan produk maupun promosi pusat-pusat belanja gencar dilakukan,” tandasnya.

Ia melanjutkan bahwa konsumerisme memang tengah melanda masyarakat Indonesia. Padahal ketika Indonesia mengalami masa agraris, masyarakat tidak termotivasi untuk membelanjakan uangnya secara berlebih.