Hakikat Keistimewaan Yogya dalam Pengakuan Konstitusi

By , Selasa, 4 September 2012 | 13:00 WIB

Pada hakikatnya, status keistimewaan Yogyakarta telah diwariskan sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Pangeran Mangkubumi, putra dari Sri Susuhunan Amangkurat IV, mempertahankan Ibu Kota Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat di Alas Beringin, Desa Garjitawati, yang menjadi kota Yogyakarta sekarang ini.

Kemudian pada perjalanannya, pemerintahan jajahan mulai dari era VOC, EIC/Kerajaan Inggris, Hindia Belanda, hingga terakhir Jepang --status yang melekati Ngayogyakarta dan Pakualaman adalah selalu negara bagian (dependent state) yang mengurus wilayah negaranya sendiri di bawah pengawasan.

Di dalam Maklumat Amanat 5 September 1945 tertera tentang penggabungan Nagari Ngayogkarta dan Kadipaten Pakualaman ke dalam Republik Indonesia. Kembali oleh Sultan HB IX dinyatakan dengan tegas, bahwa Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa bagian dari RI. Hubungan antara Yogyakarta dan pemerintah pusat bersifat langsung.

Kini, di dalam UU Keistimewaan Yogyakarta, status istimewa itu diakui secara hukum formal. Dalam wawancara yang dimuat dalam harian Kompas, Senin (3/9), Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan HB X mengutarakan, UU Keistimewaan membuat masyarakat bisa lebih tenang karena ada kepastian.

"Dengan disahkannya RUU Keistimewaan ini, masyarakat Yogyakarta bisa lebih tenang. Meski demikian, saya berharap masyarakat Yogya juga tetap mengkritisi pemerintah daerah kalau ada suatu hal yang tidak baik," ujar Sultan.

Rancangan UUK berada dalam lingkup pembahasan oleh parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat) selama delapan tahun. Pasca undang-undang ini disahkan, Sultan pun harus melepaskan diri keanggotaan partai politik sebagai konsekuensi. Eksistensi keistimewaan Yogya yang diakui dalam undang-undang ini diharapkan juga mengingatkan semua pihak akan hakikat sejarah DIY.