Persepsi Srihadi tentang seni/art -sangat mungkin merupakan persepsi umum di Indonesia- bertumpu pada pemahaman seni/art berdasarkan pemikiran ontologis pada metaphysics. Pada pemahaman ini seni/art adalah gejala metafisis.
Demikian pendapat kurator pameran tunggal karya seni Srihadi Soedarsono, Jim Supangkat, yang tertuang dalam buku karyanya, “Srihadi dan Seni Rupa Indonesia”. Buku tersebut diluncurkan saat pameran tunggal Srihadi Soedarsono yang berlangsung sejak 30 Mei 2012 hingga ditutup Sabtu (1/9) di Art:1 New Museum, Jakarta.
“Srihadi dan Seni Rupa Indonesia” membahas sejarah, posisi, dan peranan Srihadi selama 65 tahun berkarya dalam sejarah perkembangan seni rupa modern dan kontemporer di Indonesia. Karya-karya Srihadi dianggap menunjukkan benang merah sejarah seni rupa Tanah Air.
"Permasalahan seni rupa kita adalah menemukan strategi untuk menjelaskan kedudukannya baik dalam perkembangan budaya Indonesia maupun budaya dunia karena proses kreasi seni bukan sekedar aktivitas sampingan kegiatan kultural,” ujar Srihadi.
Srihadi Soedarsono lahir di Solo, 4 Desember 1931, dari lingkungan keluarga priyayi dan pengusaha batik. Pada masa kolonial, kakek dan juga ayahnya merupakan pengusaha batik terkemuka di Solo.
Kedudukan keluarga Srihardi terhormat karena pengetahuan kakeknya mengenai keris. Pada kebudayaan Jawa, keris bukan sekedar senjata, tapi perlambang budaya. "Bagi saya, kakek adalah figur yang mengesankan. Dari beliau saya mengenai seluk beluk seni dan kesenian," kata Srihadi dalam buku tersebut.
Dikatakan Bambang Sugiharto, Guru Besar dan ahli filsafat dari Universitas Katolik Parahyangan, seni Srihadi memperlihatkan pergumulan menawan antara modernisasi dan tradisi Jawa.
Sesuai dengan pandangan Beliau, bahwa pergeseran nilai-nilai dapat terjadi dari dalam lingkungan sendiri ataupun akibat benturan dengan nilai asing. Setiap periode karyanya selalu berubah dan ada perkembangan. Karena ia terus menggali ide sesuai perkembangan usia dan kematangan berpikir.
"Dengan mereguk habis formalisme Barat, Srihadi justru menemukan kembali konsep Seni ala Jawa: seni sebagai ibadah," ujar Bambang.