46 tahun lalu, Afrika Selatan kehilangan Perdana Menteri Hendrik Verwoerd setelah ditusuk imigran asal Mozambik di Gedung Perwakilan Rakyat, Cape town. Sang eksekutor, Demetrio Tsafendas, merupakan imigran keturunan campuran Yunani dan Swazi ---masyarakat di tenggara Afsel.
Verwoerd adalah sosok kontroversial, perancang politik pemisahan ras dan etnik (apartheid). Sebagai PM, pria kelahiran Belanda ini menerapkan sistem hukum yang memisahkan kaum kulit putih, Afrika (hitam), berwarna, dan Asia.
Ia juga memerintahkan merelokasi warga kulit hitam di wilayah tertentu. Kebijakan ini menuai protes warga yang akhirnya dibubarkan pihak berwenang secara brutal.
Verwoerd menerapkan Undang-undang Promotion of Bantu Self-Government di tahun 1959. Yaitu hukum yang membagi warga kulit hitam Afrika Selatan menjadi delapan grup etnik dan alokasi mereka di wilayah baru.
Dalam bidang pendidikan, Verwoerd juga melarang warga kulit hitam untuk masuk ke universitas warga kulit putih. Serta membagi institusi pendidikan sesuai dengan rasnya dalam Undang-undang Extension of University Education.
Di tahun 1960, Verwoerd sempat ditembak dua kali di kepala oleh seorang petanis Inggris. Namun, ia lolos dari usaha pembunuhan dan menyatakan itulah bukti persetujuan Tuhan atas kinerjanya.
Beberapa tahun kemudian, Verwoerd juga menangkap pemimpin gerakan anti-apartheid, Nelson Mandela. Mandela -yang akhirnya jadi presiden Afsel di tahun 1994- dipenjara atas beberapa tuduhan.
Namun, usaha Verwoerd untuk memberangus perlawanan anti-apartheid gagal melindunginya dari penusukan oleh penderita skizofrenia seperti Tsafendas. Verwoerd ditusuk hingga tewas dan Tsafendas dikirim ke Rumah Sakit Jiwa dekat Johannesburg hingga akhir hayatnya di tahun 1999.
Apartheid baru dihapuskan dari Afsel pada tahun 1993. Mandela -musuh politik Verwoerd- menjadi Presiden dan dianugerahi Nobel Perdamaian.