Sebanyak 95 Persen Kawasan Mangrove di Lampung Rusak

By , Senin, 10 September 2012 | 23:41 WIB

Mangrove, ekosistem perantara darat dan laut, memiliki peran sebagai penyangga kehidupan pesisir. Fungsi mangrove sebagai penahan abrasi pantai, ketersediaan air bersih dan tawar, hingga fungsi ekonomi untuk tambak sangat dirasakan oleh warga masyarakat pesisir.

"Menurut data terakhir dari penelitian Universitas Lampung, kawasan hutan mangrove di Lampung Selatan hanya tinggal 5 persen, artinya 95 persen kawasan mangrove di Lampung telah rusak. Padahal, kawasan Bakauheni di Kabupaten Lampung Selatan, dahulu memiliki garis pantai yang dipenuhi oleh pohon bakau, yang merupakan asal-usul nama 'Bakau-heni'," ungkap Irma Hutabarat, Pendiri dan Ketua Yayasan Miyara Sumatera.

Hilangnya hutan mangrove di Lampung pun berangsur-angsur berdampak pada punahnya tradisi dan budaya lokal. Hampir tak ada lagi kerajinan kain tenun Tapis Kapal di Lampung Selatan. Karena kualitas lingkungan yang terus merosot, hasil tangkapan nelayan kian berkurang, hingga kian sedikit masyarakat yang memilih menjadi nelayan.

Oleh karena itu, kelestarian mangrove sangat punya nilai. Lewat program "Mangrove for Life: Investing and Empowering Rural and Coastal Communities", Yayasan Miyara Sumatera menggagas upaya konservasi mangrove berupa rehabilitasi, proteksi, dan interpretasi.

Irma menyatakan, yang ditawarkan program ini bukan perbaikan fisik saja, melainkan pada pemberdayaan. Pilot project kawasan konservasi mangrove sudah dikerjakan pada area seluas sekitar 30 hektare di Merak Belantung, Lampung Selatan.

Pelestarian lingkungan hidup dapat menjadi investasi dan pengembangan yang berkelanjutan terhadap seluruh pihak secara ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan. "Kita bisa lihat keterkaitan antara mangrove dengan masyarakat di sekitarnya. Melalui Mangrove for Life, kami melakukan upaya-upaya pemberdayaan dan penguatan," tambah Nurdiyansah Dalidjo, salah satu aktivis dari Miyara Sumatera juga.

Ia menerangkan area tersebut adalah milik privat yang 'mati' karena telah dibeli tapi tidak dikembangkan dan justru mengakibatkan kerugian besar bagi lingkungan serta, pada akhirnya, masyarakat setempat.

Kini kegiatan yang telah berlangsung sejak awal 2012 ini menerapkan community based conservation atau konservasi berbasis masyarakat lokal, di mana masyarakat lokal terlibat aktif dalam kegiatan konservasi dan dapat mengakses manfaat dari hasil konservasi.

Ke depannya, kata Nurdiyansah lagi, selain menjaga keberlangsungan konservasi, dirancang pengembangan eco-tourism serta memperkuat ekonomi dan kebudayaan bahari. Melalui konservasi dan small-medium enterprise (UKM) dari produk-produk alternatif turunan mangrove, contohnya pembuatan sirup dari buah pohon mangrove jenis pidada.

"Dari lestarinya mangrove, berbagai flora dan fauna langka, termasuk elang bondol, burung raja udang biru, tupai dan salamander, dan lain-lainnya, juga terselamatkan pula," tegas Irma.

Miyara Sumatera Foundation tidak bekerja sendirian, tetapi turut bermitra dengan Bakrieland Hotels and Resorts, Universitas Lampung, Pemda Lampung Selatan, serta masyarakat. Kawasan konservasi di Merak Belantung meliputi daerah wisata antara lain Pantai Bagus, Pantai Embe, Pantai Tanjung Beo. Meski sebagian kondisi mangrove masih baik, banyak area yang rusak, dipenuhi sampah plastik, atau sisa-sisa pembakaran.