Bentara Budaya, Penyentuh Seniman Terabaikan

By , Senin, 24 September 2012 | 10:59 WIB

Bentara Budaya bermakna utusan budaya. Pilihan nama yang secara sadar disetiai para wartawan budaya Kompas yang dengan senang hati melakukan penjelajahan sampai ke pelosok desa untuk melaporkan tradisi, kegiatan unik, dan menemukan para seniman yang berkarya sepenuh hati. Kerja jurnalistik ini, selain mengisi lembar budaya Kompas, juga menjadi cikal dibentuknya Bentara Budaya – rumah seni, galeri – yang dibentuk kelompok media penerbitan Kompas-Gramedia di Yogyakarta, 26 September 1982.

Program bakti sosial ini dijalankan dengan semangat menggapai seni dan seniman yang nyaris tak pernah dilirik rumah seni, gedung pertunjukan, bahkan pemerintah. “Kami ingin menyelamatkan, kalau tidak seluruhnya, paling tidak sebagian saja episode karya seniman yang selama ini terpinggirkan dan tak pernah terdengar,” tutur Hariadi Saptono, Direktur Eksekutif Bentara Budaya dalam jumpa pers Jumat (21/9) sore di Bentara Budaya Jakarta.

Sejak awal, Bentara Budaya bersikap untuk tidak komersial. Tentu saja tetap ada proses dan tahap penilaian bagi seniman yang diundang untuk menampilkan karyanya di Bentara Budaya.

“Kriteria umum adalah para seniman yang secara total berkarya dan mengabdikan hidupnya untuk karya tapi tak pernah dihargai dan terkesan terpinggirkan,” papar Romo Sindhunata, kurator Bentara Budaya yang dikenal sebagai penulis dan pemerhati budaya.

Tolok ukur keberhasilan di antaranya adalah bila para seniman yang pernah tampil di Bentara Budaya bisa bertahan untuk terus berkarya, bahkan menasional. Soimah, adalah salah satu contoh.

Rumah seni yang disubsidi, pada umumnya menyurut atau berhenti. Bentara Budaya, yang mengangkat seniman yang tak popular, justru berkembang menjadi beberapa utusan budaya di wilayah lain. Seperti Bentara Budaya Jakarta, 26 Juni 1986, Balai Soedjatmoko Surakarta, yang berdiri pada 31 Oktober 2003 di Solo bergabung dengan pengelolaan Bentara Budaya pada Januari 2009, dan Bentara Budaya Bali, September 2009.

Merayakan 30 tahun berkarya. menjaga para seniman “jelata” terus berkarya. Bentara Budaya mengagendakan Pameran Seni Rupa “Slenco” – salah sambung, miscommunication – dari perupa seluruh Indonesia, 27 September-2 Oktober 2012. 

Diskusi Seni “Otoritas Seni dan Peran Ruang Publik Kebudayaan terhadap Pasar”, pementasan ketoprak Tjap Tjonthong pada 26 September 2012 yang memungkas penganugerahan Bentara Budaya Award pada 10 seniman dengan karya unik dan fenomenal : Ni Nyoman Tanjung (perupa Bali), Anak Agung Ngurah Oka (keramik klasik Bali), Pang Tjin Nio (sinden Gambang Kromong Jakarta), Rastika (pelukis kaca Cirebon), Sitras Anjilin (wayang orang Merapi Magelang), Sulasno (penarik becak, pelukis kaca Yogyakarta), Mardji Degleg (dalang wayang golek Bojonegoro, Jawa Timur), Dirdjo Tambur (pemain ketoprak Yogyakarta), Hendrikus Pali (penenun, penari Kambera, Sumba Timur, NTT), Zulkaidah Harahap (ketua opera tradisional Batak, Sumatra Utara).

Para seniman ini akan diundang ke Jakarta untuk menerima penghargaan, sertifikat, trofi. dan dana berkarya Rp20 juta. Tak semua seniman memastikan hadir. “Ada yang menyatakan tak bisa hadir karena pada hari diundang ke Jakarta sudah ditanggap untuk bermain. Ia menegaskan tak mengapa jika tak bisa menerima penghargaaan yang disiapkan. Ini membuktikan ketotalannya dalam berkarya. Ada atau tiada penghargaan, ia terus berkarya,” papar Sindhunata dengan nada bangga.

Penghargaan ini juga untuk mendorong para seniman yang saat ini mungkin merupakan seniman terakhir di bidangnya. Jangan sampai mereka menjadi seniman terakhir. Penghargaan dari masyarakat, dalam bentuk perhatian untuk mengundang mereka pentas, yang berarti juga nafkah untuk melanjutkan hidup dalam berkesenian, merupakan semangat yang harus terus dihidupkan.