Ulos merupakan suatu produk penting asal salah satu peradaban tertua di Asia yang sudah ada sejak 4.000 tahun lalu, yakni kebudayaan Batak. Ulos bahkan telah ada jauh sebelum bangsa Eropa mengenal tekstil. Demikian menurut kajian yang dilakukan oleh Miyara Sumatera Foundation.
Selain itu, melebihi nilai estetika yang dapat kita temukan pada sehelai kain tenun tradisional, kain Ulos mengandung makna mendalam pula. Ulos rupanya representasi dari semesta alam. Di masa lampau, perempuan-perempuan Batak bangga menenun, memakai, dan mewariskannya kepada keluarga sebagai suatu pusaka.
Namun tidak ada banyak kajian terhadap Ulos ditemukan di Indonesia. Melainkan di banyak museum dan universitas di luar negeri seperti Singapura, Amerika, Inggris, dan Belanda. "Saat ini kami tengah membuat kajian dengan melakukan aktivitas advokasi dan kampanye melalui diskusi komunitas mengenai sejarah-budaya kain-kain kuno Sumatra, serta mempersiapkan pameran kain," tutur Nurdiyansah Dalidjo dari Miyara Sumatera Foundation.
Miyara Sumatera Foundation, sebagai organisasi yang bergerak untuk pelestarian budaya, konservasi alam, dan pengembangan pariwisata Sumatra, terlibat dalam pelestarian kain kuno. Salah satu yang juga menjadi perhatian besar Miyara Sumatera adalah keberadaan kain kapal--selain terhadap sekitar lebih dari 10 koleksi kain asal Lampung.
Nurdiyan menambahkan, kain kapal telah punah akibat letusan Krakatau dan masuknya kolonialisme. Di mana kemudian masyarakat lokal dipaksa untuk membuat tekstil bagi tentara perang, sehingga kini tidak ada lagi penenun yang memproduksi kain kapal. Oleh sebab itu, kain kapal sudah menjadi koleksi paling prestisius di berbagai museum di luar negeri.
Ketua Miyara Sumatera Foundation Irma Hutabarat kembali menegaskan, pengenalan Ulos kepada anak-anak di sekolah amat penting sebagai upaya pengenalan lokal dan pelestarian budaya Batak. "Di sekolah dasar, idealnya anak-anak sudah dikenalkan tentang ulos, sebagai unsur penting yang ada dalam budaya Batak," ujarnya.