Menjaga Benteng Terakhir Lancang Kuning

By , Selasa, 2 Oktober 2012 | 17:09 WIB
()

Riau (pernah) memiliki beragam kekayaan dan keunikan alam. Namun, proses pengambilan dan pemanfaatan  sumber daya alam yang masif sejak dua-tiga dekade lalu telah merampas sebagian besar dari kekayaan dan keunikan tersebut.

Pun demikian, asa bagi hutan Riau masih ada. Kami ingin menyajikan secara optimis bagaimana hutan dan bentang alam Riau, yang kini terdegradasi dan nyaris musnah, dapat dirawat dan dipulihkan.

Berada tepat di jalur khatulistiwa, Riau dianugerahi dengan energi matahari yang berlimpah. Dipadukan dengan kesuburan tanah serta keterhubungannya dengan kawasan lain, hutan dan bentang alam Riau telah mendukung kehidupan aneka ragam kekayaan hayati yang luar biasa.

Salah satu bentang alam penting di wilayah Riau adalah hutan gambut. National Geographic Indonesia telah menerbitkan peta sisipan dalam edisi Oktober 2012 yang menyajikan saujana provinsi yang baru selesai menyelenggarakan Pekan Olahraga Nasional XVIII.

Mengawasi satwa di alam dapat mengasah kepekaan kita akan alam, menyehatkan karena kita akan banyak bergerak dan menghirup udara segar, serta mengasah sportivitas. (WWF/Sunarto)

Hutan rawa gambut bagaikan spons raksasa yang memberikan jasa utama sebagai lapisan Bumi penyalur air bagi air tanah. Di permukaan, rawa gambut mengendalikan banjir dan aliran air permukaan, serta mencegah intrusi air laut. Makin besar rawa gambut, makin mampu mengendalikan air.

Namun, kawasan rawa gambut menjadi incaran para perusak lingkungan yang hanya memikirkan keuntungan sepihak. Lihatlah, kawasan lindung Semenanjung Kampar. Ini adalah kawasan lahan gambut yang saling bersambungan dengan luas sekitar 700.000 hektar.

Perhitungan awal oleh WWF-Indonesia menunjukkan bahwa Semenanjung Kampar yang terkelola dengan baik bisa menampung maksimum sebanyak 60 harimau. Hingga 2002, kawasan ini masih sepenuhnya ditutupi oleh hutan alam, namun pada 2007 hanya sekitar 400.000 hektar yang tersisa.

Menjaga kelestarian kawasan rawa gambut seperti sediakala sudah bernilai ekonomis. Di kala dunia tengah berupaya untuk menekan emisi karbon global, telah muncul skema-skema pendanaan yang salah satunya adalah mencegah bertambahnya emisi karbon dari deforestrasi dan degradasi kawasan hutan yang dikenal dengan REDD+.

Upaya menjaga hutan gambut telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Agus Purnomo, Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim telah mencatat bagaimana latar belakang dan kronologi Instruksi Presiden No. 10 tahun 2011 tentang moratorium perizinan baru untuk menebang hutan dan izin pemanfaatan hutan di atas lahan gambut, yang menimbulkan pro-kontra berbagai pihak. Baik di dalam tubuh pemerintah maupun di kalangan aktivis dan organisasi lingkungan, serta pengusaha.

Agus menuangkan catatan itu melalui buku bertajuk “MENJAGA HUTAN KITA: Pro-Kontra Kebijakan Moratorium Hutan dan Gambut” - yang baru saja diluncurkan di Jakarta. Tuntutan agar pemerintah melakukan moratorium pembalakan hutan disuarakan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat lingkungan sejak 20 tahun yang lalu. Ketika pembalakan hutan secara besar-besaran terjadi melalui pemberian konsesi HPH (hak pengusahaan hutan) kepada orang atau institusi yang berjasa kepada negara di era pemerintahan Presiden Soeharto.

Inpres Moratorium merupakan langkah awal kebijakan pemerintah untuk menjawab keinginan berbagai pihak agar pengelolaan kehutanan Indonesia dilakukan dengan efektif, transparan dan akuntabel. Presiden SBY merupakan Presiden pertama Indonesia yang berani mengeluarkan kebijakan menghentikan proses perizinan terhadap hutan alam primer dan lahan gambut sejak Indonesia merdeka tahun 1945.

Terlepas dari pro-kontranya, publik dan para pihak sependapat untuk mendukung Inpres Moratorium ini. Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan mengatakan bahwa di masa silam lalu lingkungan hidup sering dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah dan perusahaan.

“Kini lingkungan hidup adalah tanggung jawab semua orang,” katanya. Sedangkan Putri Indonesia 2005 yang juga penggiat lingkungan, Nadine Chandrawinata mengatakan, “Kebesaran suatu negara dilihat dari bagaimana cara kita menghargai dan menjaga lingkungan alam sekitar.”