Mata Hari, penari erotis berkebangsaan Belanda dan pernah tinggal di Indonesia, dihukum mati tepat 95 tahun lalu, 15 Oktober 1917. Mata Hari ditembak skuad eksekutor tembak di Vincennes, Prancis, atas tuduhan mata-mata.
Mata Hari bukanlah nama sebenarnya tokoh kontroversial ini. Nama aslinya adalah Margueretha Gertruida Zelle, sulung dari empat bersaudara yang lahir di Leeuwarden, Belanda, pada tahun 1876.
Masuk usia 19 tahun, Mata Hari menikah dengan Kapten Rudolf MacLeod dan pindah ke Indonesia. Bersama sang Kapten, Mata Hari memiliki dua anak, Norman-John MacLeod dan Louise Jeanne MacLeod. Namun, anak pertama mereka tak berusia panjang karena penyakit kelamin yang dibawa oleh ayahnya.
Pernikahan itu sendiri berakhir dengan penceraian. Diawali dengan perpisahan pada tahun 1902 dan bercerai di tahun 1907.
Perpisahan tersebut menandai awal karir Mata Hari sebagai penari erotis di Paris. Pada tahun 1903, Mata Hari "menjual" misteri gerakan sensual dengan dibumbui ornamen dan suasana Asia. Saat itu, Asia khususnya Indonesia yang dikenal sebagai Hindia Belanda, masih merupakan wilayah teka-teki bagi warga Eropa.
Mata Hari, perempuan cerdas dan liberal di zamannya, mengatakan ia belajar tarian seperti itu dari kuil di India. Nama Mata Hari pun diklaimnya diberikan di negara itu.
Sensualitas dan kepopuleran Mata Hari membawanya dekat dengan para petinggi militer Eropa. Inilah yang akhirnya menjadi salah satu jembatan menuju kematiannya.
Saat pecah Perang Dunia I, ada laporan yang menyebut Mata Hari menerima uang dari Konsulat Jerman untuk memata-matai Prancis di tahun 1916. Namun, di saat bersamaan ia juga bertindak sebagai mata-mata Prancis di Belgia.
Kegiatannya bersama pihak Jerman diketahui oleh pihak Inggris yang akhirnya berujung penahanan Mata Hari. Ia dituduh sebagai agen ganda, dijatuhi hukuman mati pada 25 Juli 1917 dan dieksekusi pada 15 Oktober tahun yang sama.
Meski Pemerintah Prancis mengungkap bukti-bukti keterlibatan Mata Hari dalam kegiatan mata-mata, banyak pihak meragukan keasliannya. Sebab, isu yang berkembang menyebut pengadilan Mata Hari hanyalah kedok agar warga teralihkan dari kekalahan Prancis di medan perang.
Kisah Mata Hari pernah ditulis oleh sastrawan Indonesia, Remy Sylado, dalam buku "Namaku Mata Hari." Kisah bersambungnya juga sempat ditampilkan di harian Kompas.