Masyarakat Lokal Perlu Berpartisipasi dalam Konservasi Hutan

By , Jumat, 19 Oktober 2012 | 22:42 WIB

Masyarakat lokal perlu berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan konservasi hutan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi tingkat kerusakan hutan lindung dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan konservasi.

Hal ini disampaikan oleh Menteri Kehutanan RI Zulkifli Hasan dalam seminar nasional “Menata Ulang Arah Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya Bagi Kesejahteraan Rakyat Secara Berkelanjutan" di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Jumat (19/10).

Zulkifli mengatakan, tujuan konservasi tidak hanya memberikan perlindungan pada kenekaragaman hayati semata. Tetapi pemanfaatannya bisa mensejahterkan masyarakat sekitarnya. "Kalau konservasi tidak bisa menyejahterakan masyarakat, maka akan terjadi konflik. Misalnya saja, masyarakat dengan semena-mena membunuh satwa, atau satwa sendiri yang gencar menganggu warga. Di sini terlihat masing-masing pihak saling terganggu habitatnya," tandasnya.

Ia melanjutkan masyarakat sekitar hutan konservasi diberi kesempatan untuk melakukan penangkaran flora dan fauna, pemandu wisata dan kegiatan penelitian, pengembangan kerajinan lokal serta mengembangkan pengetahuan lokal. Bahkan melalui Permenhut P.48/Menhut-II/2010, pemerintah memberikan akses legal untuk masyarakat sekitar hutan menjadi pengelola usaha wisata alam.

Terkait wisata alam, Menteri juga menambahkan bahwa saat ini lebih dari 50 taman nasional yg belum terkelola dengan baik. Selain peran pemerintah daerah yang belum mamadai, juga karena sumber daya manusia yang terbatas.

"Di Singapura dan Jerman, hutan sudah menjadi tempat wisata. Ini bukti bahwa masyarakat mampu meningkatkan kewirausahaan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek konservasi. Masyarakat pun sejahtera tanpa mengorbankan hutan,” urainya.

Saat ini terdapat setidaknya 6.200 desa yang berada di kawasan hutan konservasi Indonesia. Dengan membuka akses pengelolannya kepada masyarakat diharapkan mampu mengurangi berbagai macam tindakan yang dapat merusak hutan seperti illegal logging, perambahan hutan, dan rusaknya ekosistem.

Djoko Marsono, Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM menilai, sampai saat ini pengelolaan sumber daya hutan masih bersifat antroposentris. Artinya, pengelolaan kurang menghargai peranan perlindungan sistem penyangga kehidupan.

"Penilaian kawasan hutan terlihat rendah karena hanya didasarkan atas produk dan jasa buka berdasar valuasi ekonomi yang menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Akibatnya degradasi hutan semakin meningkat,” katanya.

Djoko juga menyototi tentang draft RUU Keanekaragaman Hayati (Kehati). Menurutnya, RUU Kehati cenderung mengabaikan aspek ekosistem dan mengingkari peran kawasan konservasi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan.

“Dalam RUU Kehati disebutkan bahwa kawasan konservasi sebagai benteng terakhir hutan tropika sering hanya dimaksudkan sebagai benteng terhadap pengawetan dan pemanfaatan flora fauna, mengabaikan ekosistem yang justru akan menimbulkan kerugian immaterial yang semakin banyak,” ujarnya.