Pica, Diet Mengonsumsi Zat Non-Pangan Melanda Pria Madagaskar

By , Senin, 22 Oktober 2012 | 19:00 WIB

Studi terbaru mengungkapkan bahwa pica juga dilakukan oleh kebanyakan pria di Madagaskar. Pica merupakan keinginan (nafsu makan) untuk mengonsumsi zat-zat not pangan dan non gizi seperti tanah liat, kotoran, dan pasir.

Gejala ini sering terlihat pada wanita hamil, anak-anak, dan penyandang autisme. Dan ketika pica melanda sebagian besar kaum adam di Madagaskar tentu menjadi hal sangat mengejutkan.

Di Madagaskar, pica sudah menjadi tradisi yang umum dilakukan. Akan tetapi para ilmuwan mengatakan ini merupakan penelitian pertama yang menemukan bahwa pica menjadi suatu praktek yang umum di kalangan pria. Bahkan, dalam penelitian diungkap jika laki-laki mengonsumsi bahan-bahan non pangan jumlahnya sama banyaknya dengan wanita hamil dan anak-anak remaja.

Christopher Golden, ahli eco-epidemiologi menduga dalam penelitian sebelumnya mungkin saja pria tidak dilibatkan sebagai sampel objek penelitian. Hal tersebut juga disetujui Laura Beatriz López, ilmuwan yang meneliti pica dan juga Direktur Nutrisi di Universitas Buenos Aires, Argentina.

"Secara tradisonal studi geophagy (praktek makan yang bersahaja) dan pica telah berfokus pada menggambarkan prevalensi pada anak-anak dan wanita hamil," kata López.

Tahun 2009, Golden beserta rekannya pernah melakukan survei mengenai perilaku pica di Kawasan Lindung Makira, Madagaskar dengan menggunakan sampel acak dari 760 orang di 16 desa. Studi melibatkan pria dan wanita sebagai subjek penelitian dan mengindentifikasi 13 zat non pangan seperti pasir, tanah, kotoran ayam, beras, singkong, akar, garam, dan abu.

Hasilnya, lebih dari 53 persen dari responden dilaporkan mengalami pica. Untuk pria dewasa saja, jumlahnya 63 persen. Hanya kurang dari satu persen perempuan yang tidak hamil mengatakan bahwa mereka mengkonsumsi zat non-pangan hanya selama kehamilan.

Sebagian orang melaporkan alasan mengkonsumsi zat non pangan sebagai sumber kekutan untuk penyembuhan terutama untuk gangguan penyakit perut. Sebagian lagi memercayai, pica membawa pengaruh yang baik bagi kesehatan secara menyeluruh.

Sebelumnya, ilmuwan menyarankan orang-orang untuk mempraktekkan pica karena dua alasan. Pertama, untuk memenuhi kekurangan mineral dalam diet. Dan kedua, mengobati cacingan di saluran pencernaan. Namun demikian, menurut Golden tidak ada bukti bahwa tubuh manusia dapat menyerap mineral dari tanah dan pica mungkin juga tidak berkontribusi untuk tujuan kesehatan.

Golden menkankan bahwa pica tidak ekslusif diderita oleh orang pedalaman di sebuah negara berkembang. Ia mencontohkan bahwa di Amerika Serikat pun banyak yang melakukannya, seperti pengalamannya memiliki seorang teman dekat yang sering mengkonsumsi kapur. "Hal ini sangat umum, namun stigma seperti ini tidak dilaporkan," kata Golden.

Psikolog dari Cleveland Clinic, Susan Albers, mengungkapkan, pica merupakan gangguan makan yang masih mendapat sedikit perhatian dibanding gangguan makan lainnya seperti anoreksia dan bulimia. Akan tetapi pica lebih penting untuk dianalisa lebih lanjut karena menimbulkan konsekuensi kesehatan yang signifikan dengan kemungkinan mengonsumsi zat beracun yang dapat membahayakan tubuh.

"Kami telah memberikan perhatian lebih kepada pria dan gangguan pola makan yang diderita selama beberapa tahun terakhir. Studi mencatat perlunya penelitian lebih lanjut mengenai pria dan pica. Serta tentunya memastikan mereka cukup terwakili dalam sampel," kata Albers.