Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi Jakarta 2030 masih abstrak. Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih diharapkan meninjau kembali dokumen tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Program Ruang Jakarta (Rujak) Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja, dalam jumpa pers di Gedung Rasuna, Jakarta, Rabu (24/10).
"Setelah saya baca sekilas, RDTR ini harus dilihat kembali oleh pemimpin DKI terpilih, karena RDTR ini dibuat pada masa kepemimpinan Fauzi Bowo (Gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012), " ujarnya. Elisa menyatakan bahwa dokumen tersebut masih abstrak, belum terbayang bagaimana DKI Jakarta pada tahun 2030 dalam dokumen tersebut.
Berdasarkan UU No.26 Tahun 2007, penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Kegiatan ini meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan tata ruang. Fungsinya mengatur ketinggian bangunan, mengatur kepadatan, rasio ruang hijau, peruntukan bangunan, dan tipe trotoar.
"Secara teknis, RDTR sudah sangat bagus, kavling yang dimiliki warga sangat detail, tapi yang terkait dengan rencana dan visi pemerintah dalam 20 tahun mendatang, belum terlihat," ungkap Suryono Herlambang, Kepala Departemen Perencanaan Urban dan Real Estate, Fakultas Teknik, Universitas Tarumanegara.
Selain itu, tidak dilibatkannya masyarakat sangat disayangkan. "Secara logika. Jadi masyarakat bisa menyetujui juga rencana pembangunan kota versi pemerintah," papar Suryono. Suryono menambahkan, dokumen ini jadi peluang kerja sama antara pengembang, pemerintah, dan masyarakat.
Dalam buku panduan untuk masyarakat Jakarta berjudul "Tata Ruang untuk Kita" keluaran Rujak, disebutkan jika 98 persen warga DKI merasa tidak diikutsertakan dalam proses RDTR. Ini berdasarkan survei yang dilakukan di tahun 2010 oleh Koalisi Warga untuk Jakarta 2030.