Partisipasi masyarakat adat penting dilakukan misalnya dalam pemetaan tanah. Langkah ini dinilai efektif karena mampu meminimalisir terjadinya konflik antar suku maupun konflik dengan pihak lain seperti swasta atau pemerintah atas klaim kepemilikan tanah adat.
Partisipasi ini juga mampu menjadi alat advokasi dalam mempertahankan hak-hak masyarakat adat. “Oleh sebab itu penting bagi pemimpin suku mendorong masyarakatnya untuk melakukan pemetaan lahan secara partisipatif,” kata Direktur Sekolah Pascasarjana UGM Hartono, Senin (29/10), di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ia memaparkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir ini berbagai konflik seputar perebutan tanah adat banyak bermunculan. Hal ini disebabkan karena belum adanya batas-batas lahan yang jelas dan tegas. Tak hanya itu, pembukaan lahan untuk kepentingan industri baik pertambangan maupun perkebunan turut menjadi pemicunya.
Budiawan, Staf Pengajar Kajian Media dan Budaya Populer Sekolah Pascasarjana UGM menambahkan, masyarakat adat di berbagai wilayah Indonesia tidak hanya dihadapkan pada konflik perebutan lahan. Mereka pun juga dihadapkan posisi mereka juga semakin terpinggir di tengah modernisasi.
“Masyarakat adat semakin terpinggir posisinya, tapi di sisi lain mereka semakin lantang menyuarakan kepentingannya. Ini terlihat dengan dibentuknya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang muncul sebagai forum untuk menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi mereka,” jelasnya.
Menurut Budiawan, masyarakat adat tidak hanya semakin tersisih, kontribusi mereka dalam pembangunan juga sangat minim. “Masyarakat adat baru diposisikan sebagai komoditas pariwisata bagi pemerintah dan belum banyak dilibatkan dalam pembangunan,” kata Budiawan.
Melihat kompleksitas yang dialami masyarakat adat Indonesia, maka itu penting dilakukan partisipasi masyarakat adat dalam berbagai hal.