Berbeda Tapi Selaras dalam The Palestine National Orchestra

By , Selasa, 6 November 2012 | 17:24 WIB
()

“Orkestra sesungguhnya merupakan pralambang kehidupan ideal. Di dalamnya ada alat musik gesek, petik, pukul, dan tiup terbuat dari kayu, logam atau perpaduannya." Semangat ini diingatkan kembali oleh Addie MS, konduktor ternama Indonesia dalam jumpa pers jelang konser The Palestine National Orchestra, Selasa (6/11) di Jakarta.

Semua yang berbeda-beda ini menghasilkan energi, bunyi dan nada selaras yang menggetarkan indera dan jiwa manusia. Dari sedih sampai gembira. Semua mendapat tempat. Selaras dan damai. Bukankah seharusnya juga demikian dalam keseharian? Banyak perbedaan, memang. "Tapi tak harus menyingkirkan bahkan membunuh lawan untuk mengunggulkan ego masing-masing ‘kan? Perbedaan yang dikelola dengan baik justru menghasilkan sesuatu yang indah," lanjut Addie.

The Palestine National Orchestra dijadwalkan pada 30 - 31 Maret 2013 di Aula Simfonia Jakarta, bertepatan dengan Palestine Land Day. Musik dipilih sebagai salah satu acara pengisi karena dianggap sebagai bahasa semesta. Amerika Serikat tercatat memilih membawa orkestranya dalam upaya mencairkan perang dingin dengan Rusia, Cina, dan Korea Utara.

"Kami harap, bentuk kerja sama dan dukungan lebih berfokus pada mengapresiasi produk ekonomi, sosial politik, dan budaya kami," tutur Fariz N Mehdawi, Duta Besar luar biasa dan berkuasa penuh Palestina di Jakarta.

Meski tanah Palestina masih dikuasai Israel sejak 1948, nama Palestina telah dicantumkan di peta dunia sejak 1974. Semangat damai dan berkarya tak pernah mati oleh tekanan apa pun.

Jumpa pers The Palestine National Orchestra, Selasa (6/11) di Jakarta. Dihadiri Fariz N Mehdawi, Duta Besar luar biasa dan berkuasa penuh Palestina di Jakarta (kedua dari kiri), dan konduktor kenamaan Indonesia Addie MS (kanan Dubes). (Christantiowati/NGT)

Ini dibuktikan Edward Said National Conservatory of Music di Palestina, yang pada 2004 membentuk Palestine National Orchestra. Tujuannya untuk mengatasi batas-batas geografis yang membawa musisi muda Palestina yang tinggal di Tanah Palestina atau diaspora (tersebar di seluruh dunia).

Sekitar 45 – 60 pria wanita musisi asal Palestina, jazirah Arab (Jordania, Mesir, Lebanon, Suriah), bergabung. Selama ini, lewat musik, mereka coba mengetuk saudara mereka, Israel.

Misalnya, pentas dengan cara sangat menantang dan mendebarkan di wilayah perbatasan Ramallah pada malam tahun baru 2010 dan 2011. Diceritakan Tim Portier, promotor orkestra ini, ketika sedang diinterogasi, seorang pemain mereka, Alexander Sulaeman mengeluarkan cello. Kemudian diikuti oleh masing-masing anggota lain.

"Bagaimana pun, para tentara Israel tergugah dan ‘melupakan’ interogasi. Sekitar tujuh bulan kemudian, seorang tentara mengenali seorang dari kami dan mengingat musik kami. Inilah yang membuktikan, bahwa di luar tugasnya sebagai tentara, ia juga manusia biasa yang sebenarnya cinta damai dan tersentuh oleh musik," tuturnya.

Dalam konser di Jakarta, The Palestanian National Orchestra, selain membawakan karya music klasik Beethoven, Schumann, dan Mozart, juga menampilkan olahan musik khas jazirah Arab. "Janganlah lagi ada julukan ‘musik kafir’ untuk musik yang berasal dari Barat, atau ‘musik Islami’ untuk musik yang berasal dari jazirah Arab atau padang pasir. Musik adalah jembatan damai dan selaras,” tegas Addie.