Masyarakat Adat RI Masih Asing dengan REDD+

By , Kamis, 8 November 2012 | 18:25 WIB
()

Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut Plus atau dikenal dengan nama REDD+ merupakan mekanisme insentif ekonomi yang diberikan pada negara berkembang. Tujuannya untuk mendorong pengelolaan hutan berkelanjutan dalam rangka pengurangan emisi karbon.

Indonesia ikut berkepentingan menjalankan REDD+ karena 70 persen dari luas daratannya adalah hutan. Namun, dalam prakteknya di hutan Nusantara, REDD+ masih menjadi "makhluk asing" bagi masyarakat adat setempat.

"REDD+ memiliki keuntungan yang masih samar-samar. Namun, cost yang dikeluarkan adalah hal pasti. Ini sulit jika diterapkan di masyarakat karena mereka cenderung memikirkan sesuatu yang instan," kata Herry Purnomo, peneliti CIFOR, dalam diskusi "Keanekaragaman Hayati, Pertumbuhan yang Berkelanjutan dan Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca – Pengelolaan Hutan Konservasi Bersama Masyarakat," di Jakarta, Kamis (8/11).

Dicontohkan Herry seperti penjelasan skema perhitungan REDD+ hingga sepuluh tahun mendatang. Sedangkan petani di wilayah setempat membutuhkan biaya sekolah anak untuk satu tahun ke depan. "Policy REDD+ terlalu rumit, harus kita buat lebih sederhana."

Masyarakat desa di hutan Kalimantan. (Thinkstockphoto)

Hal ini ditegaskan oleh Bambang Darmadja, mantan Kepala Balai Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Jawa Timur. Pihaknya sudah menerapkan kegiatan REDD+ sejak tahun 2010. Namun, karena sulit merangkul masyarakat yang cenderung menginginkan hasil instan, pihak TNMB akhirnya melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

"Untuk membangun kemitraan, kami juga membangun diskusi bersama. Pada prinsipnya, untuk membangun kawasan konservasi, sangat penting melibatkan masyarakat," urai Bambang.

Asing dengan REDD+

Dalam forum diskusi ini dikemukakan aspirasi beberapa wakil dari Aliansi Masyarakat Nusantara (AMAN) yang menyuarakan rasa asingnya pada REDD+. "Ada aktivitas dari LSM untuk mengukur karbon di hutan kami. Tapi jujur saja tidak diketahui untuk siapa maksud dan keuntungannya," ujar perwakilan Bengkulu yang mengkritik juga bagaimana Pemerintah tidak menyentuh masyarakat adat dalam negosiasi atau pun perhitungan karbon.

Dikatakan Sonny Partono, Inspektur Investigasi dan Inspektur Jenderal Kementerian Kehutanan, masyarakat adat di wilayah kawasan konservasi masih boleh memanfaatkan lahan yang ada. Namun, harus lahan yang berada di zona pemanfaatan.

"REDD+ memungkinkan masyarakat berada di zonasi khusus atau tradisional. Mereka boleh memanfaatkan, tapi tidak boleh memiliki," kata Sonny.