Menghidupkan Kembali Ragam Pangan Indonesia

By , Selasa, 13 November 2012 | 12:56 WIB
()

Banyak orang Indonesia menghabiskan sekitar separuh dari penghasilannya untuk makanan, tutur pemerhati kuliner Bondan Winarno. Namun, ada ironi: sekitar 20 persen balita (tujuh juta anak) memiliki tinggi tubuh di bawah normal usianya, yang merupakan jumlah kelima terbanyak di dunia.

Sebaliknya, penderita diabetes di Indonesia kini berada di peringkat keempat terbanyak di dunia, ungkap Purwiyatno Hariyadi dari Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Hal ini mengemuka dalam “Ragam Pangan dan Makanan Olahan Indonesia, Untuk Siapa?” yang digelar Yayasan Kehati (Keanekaragaman Hayati) di Gedung Film, Jakarta, Kamis (8/11) lalu.

Orang Indonesia kini akrab dengan ayam goreng tepung, tak lagi hanya ayam goreng Kalasan, gulai ayam, singgang ayam sumpu, dan masakan tradisional lainnya. Pada awal 2000-an, warga Jakarta pun mulai demam roti abon yang dikembangkan brand lokal, Bread Talk, disusul berbagai brand donat, lokal maupun waralaba asing.

Sambutan masyarakat ini mendongkrak Indonesia sebagai negara terbesar di dunia sebagai pengimpor gandum dengan 7,1 juta ton per tahun. Sementara lebih dari satu dekade lalu, Departemen (Kementerian) Pertanian RI mencatat penurunan 4,8 persen dan 28,6 persen konsumsi singkong (ubi kayu) dan ubi pada masyarakat perkotaan, dan peningkatan 10,1 persen dan 39,8 persen untuk konsumsi jagung dan ubi kayu pada masyarakat pedesaan.

Indonesia memiliki lebih dari 7.000 varietas beras organik yang bisa tumbuh subur di aneka jenis lahan. (Christantiowati/NGT)

Di pasar dunia, Indonesia dikenal sebagai peringkat atas dunia untuk mi instan, terutama ke Timur Tengah dan Afrika yang berpola konsumsi tinggi kalori. Sementara negara maju, Jepang dan Eropa, lebih mementingkan nilai gizi daripada volume, tutur P Soegiono D dari Indofood Sukses Makmur.

Kini, bahkan di kampung suku asli macam Badui di Jawa Barat yang bertradisi adat ketat, mi instan bukan hal asing. Negeri tetangga, Thailand dan Korea, sukses bermuhibah budaya lewat perut yang didukung pemerintahnya, mendirikan restoran khas negeri mereka di penjuru dunia.

Sementara Indonesia masih menjadi pemasok bahan baku bermutu untuk brand internasional – lebih dari 50 persen kebutuhan teh hijau dunia untuk Lipton dihasilkan oleh kebun Chakra Tea di Ciwidey, Jawa Barat. Namun sebenarnya, masyarakat Indonesia pun tetap menggeliat bangkit.

“Sebelum 1960 ada lebih dari tujuh ribu varietas beras. Di mana pun di Indonesia, kita bisa menemukan padi yang sesuai lahan – dekat pantai, sungai dan danau. Sayang, padi Danau Sembalun kini sudah punah,” ujar Helianti Hilman dari Javara yang bergerak di usaha pangan organik, merangkul petani dengan fair trade.

Gaya hidup yang menurunkan tingkat kesehatanlah yang akan mendorong orang Indonesia kembali ke kearifan pangan lokal. Bila jeli dan beruntung, di pasar tradisional yang dikelola modern, seperti Pasar Mayestik, kita masih bisa menjumpai penjaja umbi suweg (Amorphophallus campanulatus forma hortenis Backer), uwi, kimpul, garut (Marantha arundinaceae), ganyong (Canna discolor L.syn), iles-iles, gembili (Discorea esculenta L.), dan hui gondola (ubi ungu pekat bercitarasa talas).