Rekayasa genetika menjadi salah satu terobosan teknologi penting dalam meningkatkan produksi pangan. Hal ini disoroti pada sebuah diskusi ahli terbatas mengenai budidaya pangan transgenik di Redaksi Kompas, 24 Oktober lalu.
Perkembangan teknologi transgenik ini dimulai sejak 1953 ketika ditemukan makhluk hidup memiliki asam deoksiribonukleat (DNA). Tahun 1973 ditemukan cara mengisolasi gen itu dan pada 1980-an dirintis teknik memindahkan gen pembawa sifat tertentu dari satu makhluk hidup ke makhluk hidup lain.
Indonesia merupakan negara yang memiliki salah satu biodiversitas terkaya di dunia. Sayangnya, upaya petani turun-temurun untuk mengonservasi kekayaan genetik lokal tanaman pertanian, masih kurang difasilitasi dan dilindungi pemerintah.
Sekarang misalnya, Kementerian Pertanian baru akan mendirikan bank gen bagi gen tanaman unggul produk rekayasa genetik (PRG). Pihak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berupaya terus meningkatkan penguasaan teknologi, tapi penghargaan peneliti belum memadai sejauh ini.
Pengalaman budidaya kapas transgenik di Sulawesi Selatan tahun 2000 yang gagal dan terhenti pun, diakibatkan ketidaksiapan kelembagaan sebagai salah satu faktor. Dalam kasus budidaya kapas ini, ketika sosialisasi kapas PRG sudah berjalan di antara para petani, terjadi ketergantungan benih kepada perusahaan multinasional penyedia benih alias di luar jangkauan petani.
Oleh karena itulah pemerintah diharapkan menjadi regulator yang kokoh, independen, dan berdaya dalam pengembangan teknologi produk-produk transgenik.
Di samping itu disebutkan, dimensi keamanan hayati pun sangat esensial, menyangkut syarat utama keamanan pangan, keragaman hayati, dan pencemaran gen.
Sejumlah benih PRG harus menunggu izin keamanan hayati untuk dibudidayakan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menetapkan bahwa pangan olahan yang sebagian besar berbahan baku PRG harus menyatakan pada label.