Ian Michael (36) tak tampak malu ketika mengungkap jati dirinya sebagai pengidap HIV/AIDS positif. Ia hanya berujar, "Saya sudah siap jati diri terungkap di masyarakat. Saya ingin memberikan motivasi pada penderita supaya mereka tidak terlalu terpuruk," katanya, Selasa(27/11) di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Divonis menjadi penderita HIV/AIDS sejak tahun 2003, ternyata bukan akhir segalanya bagi Ian. Awalnya memang stres dan terpukul, namun status hidupnya menjadi berguna di masyarakat yakni sebagai motivator di sebuah LSM di Yogyakarta yang bergerak di bidang ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dan HIV/AIDS.
Sejak tahun 1998, Ian mulai mengkonsumsi narkoba jenis putaw. Hingga pada akhirnya sewaktu ia diminta untuk tes HIV/AIDS, dirinya didiagnosis positif. Setelah itu ia diharuskan masuk ke pusat rehabilitasi untuk melakukan terapi.
Tahun 2005, Ian berhubungan dengan seorang wanita yang saat ini menjadi istrinya. Awal berhubungan, Ian sudah terbuka bahwa dirinya mantan ODHA dan penderita HIV/AIDS. "Istri saya waktu itu memang kaget, karena dia mencintai saya, maka ia akhirnya mau menikah dengan saya dengan segala risikonya," katanya.
Akhirnya tahun 2006, Ian pun menikah. Meski si istri negatif, satu ketakutan yang mereka alami adalah anak mereka kelak juga tertular HIV/AIDS. Setelah menikah, istri positif mengandung. Ian pun selalu rutin memeriksakan kandungan dan melakukan tes HIV untuk janin anaknya. Puji syukur, anak pertama lahir dengan selamat dan negatif HIV/AIDS.
"Anak pertama laki-laki dan sekarang usianya lima tahun. Kami juga dianugerahi anak kedua perempuan (1,5 tahun) yang sama-sama negatif HIV/AIDS," ujarnya dan menambahkan penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual sekitar 0,5 persen per hubungan.
Ian mengatakan bahwa penderita HIV/AIDS tak perlu khawatir dengan keturunannya. Untuk kesehatannya pribadi pun juga tak perlu khawatir. Saat ini Ian pun terus mengkonsumsi obat ARV per 12 jam dan melakukan terapi. "Saya merasa sehat dan ini membuktikkan bahwa penyakit tidak langsung mematikan," tambahnya.
Namun, yang perlu mendapat perhatian adalah tingkat penerimaan penderita di depan publiknya. Saat ini banyak penderita masih minder karena masyarakat luas melakukan diskriminasi. Akibatnya, penderita tidak mengakui jati dirinya dan tidak terbuka untuk menerima informasi.
“Saya berharap penderita HIV/AIDS makin yakin bahwa mereka juga memiliki hak dan kewajiban sama seperti masyarakat lainnya."
Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Riswanto menegaskan, HIV/AIDS bukanlah penyakit kotor dan mudah ditularkan ke orang lain. Dengan demikian, masyarakat diharapkan lewat bersikap adil terhadap para penderita khususnya menyangkut keberadaannya dalam masyarakat.
Sementara itu kaitannya dengan peringatan Hari AIDS Sedunia yang jatuh pada 1 Desember mendatang, Riswanto berharap seluruh pihak lebih memberikan perhatian penting pada penyakit ini. Khususnya perempuan, pihak ini diharapkan untuk berhati-hati terhadap penyebab HIV/AIDS mengingat jumlahnya makin meningkat.