Bergesekan dengan Sejarah Yogyakarta di Hotel Bintang Lima

By , Rabu, 28 November 2012 | 17:25 WIB

Hotel Royal Ambarrukmo yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tak sekadar hotel berbintang lima. Hotel ini merupakan bagian dari sejarah Indonesia dan sudah menjadi ikon Yogyakarta sejak tahun 1960-an.

Hotel ini berawal dari sebuah pesanggrahan (pendapa agung) Arjo Purno yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Pesanggrahan yang dibangun pada tahun 1857-1859 silam merupakan tempat pertemuan Sultan dengan Gubernur Jenderal Belanda serta resort untuk keluarga keraton.

Pada tahun 1895-1897, pesanggrahan ini direlokasi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan digunakan sebagai tempat pertemuan sultan dan Raja Surakarta. Hingga Sri Sultan HB VII lengser dari jabatannya, pesanggrahan itu untuk tempat tinggal keluarganya. Tak mengherankan, jika kemudian pesanggrahan itu sangat dibalut oleh nuansa Jawa dan keraton.

Atas prakarsa Soekarno dan Sultan Hamengku Buwono IX, tahun 1960, pendapa agung ini direvitalisasi menjadi hotel dan menjadi situs warisan sejarah. Kala itu bernama Ambarukkmo Palace Hotel. Dengan arsitektur Soekarno sendiri, hotel ini dibangun dengan kelas internasional dan digunakan untuk berbagai aktivitas negara.

Maklum saja, saat itu Yogyakarta menjadi ibu kota negara dan tampuk pemerintah erkonsentrasi di sana. Ambarukkmo pun akhirnya digunakan sebagai tempat khusus pendidikan kepolisian Republik Indonesia serta kantor administrasi Bupati Sleman hingga tahun 1964.

Setelah berhenti operasional sejak tahun 1994, hotel ini direvitalisasi kembali pada tahun 2010. Revitalisasi ini terlihat istimewa karena memadukan unsur internasional dan lokal, di mana budaya Jawa sangat kental di dalamnya. Hingga pada 2011 lalu, hotel ini diresmikan dan berubah nama menjadi Hotel Royal Ambarukkmo.

Begitulah uraian sejarah Hotel Ambarukkmo yang dibacakan oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hemangku Buwono X di peringatan HUT Royal Ambarukkmo pertama di Yogyakarta, Minggu (25/11). Dalam sambutannya, Sultan mengatakan bahwa revitalisasi hotel Ambarukkmo merupakan salah satu wahana transformasi dan revitalisasi budaya.

Revitalisasi ini merupakan salah bentuk pelestarian cagar budaya. “Saat ini kebutuhan untuk meregenerasi kota sangat penting. Acuannya adalah menjaga lingkungan dan melestarikan cagar budaya di dalamnya,” kata Sultan.

Sultan berharap, Hotel Ambarukkmo bisa mengembalikan ikon Jogja di kancah internasional. Pasalnya, hotel ini tidak hanya melakukan pelayanan hotel, melainkan memperkenalkan budaya Jawa sekaligus Yogyakarta.

General Manager Hotel Ambarukkmo L.Sudarsana menambahkan, dengan keberhasilan yang telah dicapai hendaknya seluruh karyawan meningkatkan kualitas dan pelayanan yang baik. Dengan demikian simbol Yogyakarta sebagai kota budaya serta keramahtamahannya tetap terjaga.

Dalam peringatan satu tahun hotel Royal Ambarukkmo, Sultan menandatangani buku sejarah Royal Ambarukkmo serta prasasti. Kedua benda ini ditempatkan dalam jodang atau tandu kecil dari kayu jati yang diusung oleh abdi dalem.

Didampingi oleh L.Sudarsana sebagai General Manager Royal Amabrukkmo Yogyakarta, Agung Adiprasetyo sebagai CEO Kompas Gramedia, serta Tjia Eddy Susanto sebagai wakil PT Putera Mataram Indah Wisata, Sultan juga memotong tumpeng yang secara simbolis sebagai ungkapan syukur.

Acara ini juga diramaikan dengan berbagai kegiatan budaya di antaranya pertunjukan wayang kulit “Jabang Tetuko” yang menceritakan lahirnya Gatotkaca, royal catwalk, musik jazz, serta pertunjukan seni dari berbagai komunitas budaya di Yogyakarta.

Royal Ambarukkmo yang berada di bawah managemen Santika Indonesia berkomitmen untuk menghadirkan suasana Jawa khas. Di antaranya  dengan menghadirkan balutan arsitektur hingga petualangan kuliner dengan menu tradisional Jawa. Setelah direnovasi, Royal Ambarrukmo menyediakan 247 kamar, merapi view, business center, dan berbagai fasiltas lainnya.