Setelah Green Canyon, Kini Wisata Desa

By , Kamis, 29 November 2012 | 13:40 WIB
()

Apakah yang menjadi daya tarik Pangandaran? Cukang Taneuh alias Green Canyon dan Batu Karas di Cijulang tercatat sebagai destinasi terpopuler. Para pengunjung dapat menikmati keelokan stalagtit dan stalagmit sembari melayari sungai di Cukang Taneuh. Sementara Batu Karas disebut-sebut sebagai salah satu lokasi surfing terbaik di Pulau Jawa.

Setelah berakrab-akrab dengan alam, tiba saatnya mengenal lebih dekat masyarakat Pangandaran. Salah satu cara adalah mengikuti wisata desa, seperti dikemas Indonesia Ecotourism Network (Indecon) saat mengundang National Geographic Indonesia, pekan lalu (24/11).

Terdapat beberapa latar belakang menarik yang layak dikedepankan sebagai materi wisata berbasis masyarakat ini. Contohnya keragaman masyarakat dari etnis Sunda dan Jawa, yang tercermin lewat penggunaan bahasa serta beberapa unsur kesenian dan budaya mereka.

Beberapa jenis mata pencaharian seperti profesi sebagai nelayan, petani, penyadap aren sampai pengolah tangkapan hasil laut dalam bentuk diasinkan. Potensi inilah yang dikembangkan sebagai materi wisata desa. 

Pada suatu pagi, saya diajak panitia mengamati kegiatan Syahri. Pria berusia 38 tahun ini memasak cairan aren untuk dijadikan gula merah atau dikenal sebagai gula kelapa. “Sudah sekitar 20 tahun saya menggeluti pembuatan gula kelapa ini,” kisahnya sembari mengaduk cairan dalam wajan menggunakan sendok kayu raksasa.

“Saya ikut bangga, karena daerah kami menjadi salah satu pemasok gula merah terbaik yang dijadikan bahan pembuatan kecap dan berbagai produk makanan di Indonesia.”

Perahu yang digunakan menuju wisata Green Canyon di Pangandaran. (Manggalani Ukirsari/NGT)

Sesudahnya, saya berbagi cerita dengan Fendi Suwandi (39), Didin (41), Sutisna (37) serta Mas Sarpit (41) yang berprofesi sebagai nelayan. Saya mengagumi semangat mereka saat terjadi tsunami pada 2006.

“Absen melaut selama tiga hari lantas aktif kembali, karena inilah mata pencaharian kami,” tutur Mas Sarpit. “Kebetulan perahu kami tidak tersapu ombak atau mengalami kerusakan.”

Sedang Didin bercerita bila perahunya terlalu dekat dengan jalur kapal tanker maka cara memberitahukan keberadaan mereka adalah menggunakan baju yang dibakar. Pengalaman Fendi Suwandi adalah melaut sampai Cilacap dan Yogyakarta bila tangkapan ikan mereka minim.

Ini baru secuplik kisah dari nelayan dan pembuat gula kelapa. Belum lagi pengalaman para penari tradisional serta petani yang dikunjungi oleh para peserta lain yang dibagi-bagi secara sistematis oleh panitia karena keterbatasan waktu. 

Bila jadwal kunjungan lebih panjang, ingin rasanya saya ikut melakukan kegiatan yang dilakukan warga setempat sesuai mata pencaharian mereka. Semoga kesempatan menarik ini kelak dapat dirasakan para wisatawan dalam kemasan wisata desa. Selamat mengembangkan wisata berbasis masyarakat dan geowisata, Pangandaran!