Gaya Harajuku di Mata Peneliti Indonesia

By , Selasa, 11 Desember 2012 | 14:39 WIB

Gaya harajuku dari Jepang yang populer sebagai  budaya pop dunia ternyata memiliki cerita unik. Harajuku tak sekedar gaya berpakaian, namun merupakan kekecewaan remaja Jepang atas kultur budaya.

Hal ini dikemukakan oleh peneliti sekaligus psikolog dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Christina Siwi Handayani, di Yogyakarta, Selasa(11/12) berdasarkan hasil penelitiannya tentang gaya hidup anak muda Jepang. Dalam penelitiannya, ia menelisik 40 perempuan yang berusia 21- 27 tahun. Dengan melakukan wawancara, ia menemukan bahwa banyak remaja putri di sana merasa frustasi dengan kultur budaya Jepang yang sangat patriarki.

“Wanita di sana memiliki posisi berat dan lemah. Wanita ditakdirkan untuk mengurus anak dan keperluan rumah tangga lainnya. Untuk itulah, keluarga Jepang tidak pernah menyewa pengasuh anak karena itu merupakan murni tugas seorang ibu,” kata Christina.

Kultur patriarki pun berimbas pada pekerjaan wanita di perusahaan. Biasanya perusahaan tidak menempatkan mereka pada posisi tinggi karena pekerja wanita pasti akan keluar dari pekerjaan untuk mengurus keluarganya.

Ia melanjutkan, menjadi wanita Jepang hanya memiliki dua pilihan dalam hidupnya. Menikah muda atau menunda pernikahan hingga umur 40 tahun-an. Bila mereka menikah muda, memang mereka harus mendedikasikan hidupnya untuk keluarganya. Namun jika tidak, mereka bisa bekerja atau melampiaskan masa remaja mereka dengan konsumerisme.

Konsumerisme bisa dilakukan dengan banyak cara misalnya bergaya sesukanya, membeli barang mewah, atau lainnya. Gaya Harajuku menjadi salah satu contohnya. Harajuku, katanya, merupakan salah satu kawasan populer tempat anak muda berkumpul. Kawasan ini terletak di sekitar stasiun JR Harajuku, Distrik Shibuya, Tokyo. Sekitar tahun 1980-an, kawasan ini menjadi tempat lahirnya komunitas anak muda yang memiliki kecintaan pada budaya pop.

“Di jalanan Harajuku-lah, anak muda mengekspresikan dirinya dengan bebas. Hal ini dilakukan mereka karena ketika di rumah mereka harus menjadi anak yang penurut, lugu, sopan, serta anggun. Namun, hal ini juga positif karena kekecewaan atas budaya dilakukan dengan melakukan hal-hal kreatif, ”papar Christina.

Ia juga menambahkan pula mengapa konsumerisme menjadi hal yang dipilih oleh wanita, alasannya juga berkaitan dengan standar kecantikan wanita Jepang. Standar cantik adalah wanita yang berdandan. Tak heran, di manapun mereka berada, mereka akan berlomba-lomba untuk tampil secantik mungkin.

Bahkan sebelum mereka tidur pun, mereka menyuruh suaminya terlebih dahulu untuk tidur hanya untuk berdandan. “Setelah mereka puas untuk melakukan konsumerisme, biasanya mereka akan menikah dan mendedikasikan hidupnya pada keluarganya,” tambahnya.

Selain konsumerisme, kekecewaan budaya juga dilampiaskan dengan bunuh diri. Tak mengherankan  tingkat bunuh diri di Jepang sangat tinggi. Bahkan tak hanya wanita, pria juga memiliki tekanan hidup tinggi karena harus menghidupi keluarganya dengan gaji tinggi.