Tidak Perlu Sempurna untuk Taklukkan Dunia

By , Jumat, 14 Desember 2012 | 18:42 WIB

Panggilan Paimo dihadiahi rekan-rekannya semasa kuliah di Jurusan Seni Rupa ITB. Pria asal Malang yang saat itu nyaris selalu bertutur dalam bahasa Jawa itu menerima dengan senang hati.

Cermin kerendahan hati yang tak menutupi cita-cita tinggi: menjelajah dunia dengan sepeda demi Indonesia. Dimulai ketika usianya 22 tahun, 1980. Perjalanan yang dinamainya "Cintaku Negeriku" itu menembus 1.656 kilometer. Melintas bersepeda Bandung-Sumbawa Besar dan mendaki Rinjani di Lombok dan Tambora di Sumbawa.

Paimo, kelahiran 17 Maret 1958, mulai merintis bersepeda sejak SMP, menempuh Malang-Kediri, dan Malang – Tulungagung. “Pas SMA mulai antarpulau, dan ketika mahasiswa mengayuh lebih dari 1.500 kilometer sekali perjalanan,” tutur pria dengan penampilan lebih muda dari usianya itu.

Diceritakannya lagi, sejak awal ia menggabungkan bersepeda dengan mendaki gunung, minat lain yang dulu sulit dijalani karena mahalnya biaya perjalanan. "Saya siasati dengan bersepeda mencapai kakinya, sepeda saya titipkan di bawah atau saya tuntun atau panggul hingga puncak.”

Jelajah Nusa Tenggara bermodal rangka sepeda hadiah teman, lalu komponennya ia lengkapi dari berburu di pasar loak Jatayu, Bandung. Sepeda rakitan ini menemani sampai sepuluh tahun kemudian, sampai ia memiliki sepeda produksi dalam negeri yang ia pakai hingga 2009.

Semangat mandiri dipilih Paimo untuk membiayai perjalanannya. Terilihami para wanita pengayuh yang membiayai perjalanan dengan menjual pin, Paimo yang kebetulan juga kolektor pin sejak SMP, memanfaatkan pula kepiawaiannya sebagai mahasiswa seni rupa untuk membuat pin.

“Pertama kali jelajah sepeda keluar negeri, ke Tibet, Jalur Sutra dan Tembok Besar China, 1993, separuhnya dari berjualan pin. Melintasi Australia pada 1995, seluruh biaya dari pin. Dengan harga Rp 3.500 – Rp15.000 per buah, bayangkan, berapa ribu pin yang berhasil saya jual,” Paimo tertawa mengenang.

Pertemuannya dengan para penjelajah lain di luar negeri juga berhasil mengundang mereka mengunjungi Indonesia untuk jelajah sepeda dan mendaki gunung. Paimo pun menjalin persahabatan abadi dengan para pendamping perjalanannya.

“Saya ingin bertemu kembali dengan Jit Bahadur Tamang, kitchen boy dan porter guide yang mendampingi saya 12 tahun lalu menjelajah Nepal, sama-sama tersesat karena belum berpengalaman. Akhirnya saya bertemu lagi di Mera Peak ketika ia sudah jadi leader guide.”

Setelah membukukan pengalaman lewat Bersepeda Membelah Pegunungan Andes (2012), Paimo berniat membukukan berbagai pegalamannya bersepeda dan mendaki gunung termasuk ke Tibet dan Nepal.

Sikap rendah hatinya masih sama. Kekuatan cintalah yang menurutnya memampukannya menaklukkan seluruh rintangan. Dalam akun Facebook-nya, bisa kita simak pernyataan cinta pada istri dan putri tercintanya, merayakan hari bahagia dari jarak jauh, dari ketinggian gunung yang baru ia taklukkan.