"Film Indonesia itu bukan hanya film berbahasa Indonesia, bisa juga film berbahasa lokal dengan mengetengahkan kedekatan budaya lokal," kata Tri Damayanto dari Indonesia Kreatif.
Pernyataan ini terlontar dalam workshop dan pemutaran film di Santika Premiere Dyandra Hotel & Convention, Medan, Sumatra Utara, Selasa (18/12). Dalam siaran pers, program ini disebutkan sebagai bagian dukungan terhadap program "Aku Cinta Film Indonesia" yang digalang Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Jangan bayangkan film mainstream dengan alur utama percintaan, horor, atau gadis-gadis seksi nyaris tidak berbusana. Namun, film indie dengan garda terdepan kebudayaan dan kekayaan Indonesia.
Itu pula yang membuat workshop dan pemutaran film ini berkonsentrasi pada sinema berkualitas nomine Piala Citra Festival Film Indonesia berjudul "Demi Ucok" besutan Sammaria Simanjuntak.
Film ini ini mendapat respon luar biasa dan mendapat delapan nominasi di FFI, antara lain Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Penulis Cerita Asli Terbaik, Penulis Skenario Terbaik, Pengarah Artistik Terbaik, Penata Suara Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik --yang akhirnya mendapat juara.
Selain berbicara banyak mengenai proses pembuatan "Demi Ucok," pada kesempatan yang sama juga diputar dua film pendek Sammaria berjudul “Emit” dan “Pengakuan Acun”. Keduanya telah mendapat pengakuan di ajang penghargaan film indie di Eropa. Juga diputar film pendek karya sineas lokal Toufique Pictures berjudul “Nggak Belok Lagi."
Kendati berkualitas, film aliran "idealis" seperti ini punya kesulitan dalam pendanaan. Taufik Pasaribu dari Toufique Pictures mengakui kendala itu.
"Cara yang sering kami lakukan untuk mendapatkan dana ialah dengan bekerja sama dengan sejumlah pihak yang terlibat di film. Kami juga melakukan pemutaran film gaya layar tancap untuk mendapatkan kontribusi dari penonton," kata Taufik.
Sammaria menambahkan, upaya mendatangi penonton seperti yang dilakukan Taufik merupakan salah satu cara indie mengatasi biaya produksi yang besar.
"Beda dengan produser film mainstream, sineas indie memang harus lebih agresif ke penonton," paparnya.
Mengutip perkataan Menparekraf, Mari Elka Pangestu, dalam pembukaan FFI Sabtu (8/12) di Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia sudah mencapai titik film kita, wajah kita. Film-film ini nantinya bukan hanya menjadi wajah Indonesia, melainkan wajah Nusantara di dunia.