Degradasi Lingkungan di Balik Keuntungan Sawit

By , Jumat, 21 Desember 2012 | 19:30 WIB
()

Minyak kelapa sawit adalah satu dari 14 minyak nabati yang dihasilkan Bumi. Sawit bahkan masuk sebagai empat besar minyak yang dikonsumsi manusia.

Pada 2010 lalu, minyak kelapa sawit menjadi market leader di bidang industrinya. Mencapai angka 27,5 persen konsumsi dunia, lebih tinggi dibanding minyak kedelai di angka 23,9 persen. Demikian dipaparkan oleh Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono, dalam "Diskusi Akhir Tahun 2012: Antara Politik Pelestarian Hutan dan Bisnis Sawit," di Jakarta, Kamis (20/12).

"Secara keseluruhan, sawit hanya menghabiskan lima persen land use tapi bisa menghasilkan lebih dari 30 persen vegetable oil dunia," ujar Joko.

Dalam sisi ekonomi, sawit menyumbang keuntungan US$1,4 miliar bagi Indonesia pada tahun 1997. Setahun kemudian, ekspor dari minyak sawit mentah meningkat, menghasilkan keuntungan US$745,2 juta. Masuk tahun 2002, keuntungan tersebut meningkat tajam menjadi US$2 miliar.

Proses evakuasi orangutan di Dusun Parit Wa’dongka, Desa Wajok Hilir, Pontianak, Kalimantan Barat. Meski sempat membaik, kondisi orangutan ini memburuk dan akhirnya mati, Rabu (29/8). (SugengHendratno/WWF-Indonesia)

Namun, segala keuntungan sawit tercekal dengan negativitas di belakangnya. Ekspansi sawit di Sumatra dan Kalimantan memaksa keanekaragaman hayati untuk menyingkir. Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) jadi salah satu contoh.

Populasi orangutan ini menurun sebanyak 50 persen dalam 60 tahun terakhir karena ekspansi perkebunan. Dalam beberapa kasus, orangutan ini dibunuh petani yang melindungi tanamannya.

Perkebunan sawit juga hanya bisa menampung spesies lebih sedikit dibanding hutan primer atau tanaman perkebunan lainnya. Penelitian pada tahun 2008 yang dikutip dalam Deforestation due to Palm Oil Plantations in Indonesia menyebut, rata-rata hanya 15 persen spesies dari hutan primer yang bisa hidup di kebun kelapa sawit.

Data dari Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan menyebut, pada 2011, ekspansi sawit mencapai 8,3 juta hektare. Namun, organisasi bidang lingkungan, Sawit Watch, mencatat angka 11 juta hektare lebih. "Jika jumlah ini ditambahkan, hak kelola rakyat dan hutan bisa tidak ada lagi," ujar Direktur Eksekutif Sawit Watch Jefri Gideon Saragih.

Ditambahkannya perlu ada revisi beberapa peraturan, salah satunya perpanjangan Moratorium Inpres No.10 tahun 2011 mengenai penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut.

"Permasalahan terbesar itu di moratorium dulu, kalau tidak di RTRW-nya (Rencana Tata Ruang Wilayah) atau di otonomi daerahnya dulu," kata Jefri.

Izin dan konflik

Diakui Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kemenhut Basoeki Karyaatmadja, pihaknya sering menerima permohonan pelepasan lahan.

"Sekitar 70 persen surat masuk, minta pelepasan hutan untuk perkebunan."

Salah satu prinsip pelepasan kawasan hutan adalah dapat dilakukan pada Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK). Dengan batas maksimal 100 ribu hektare untuk satu perusahaan yang diberikan secara bertahap.

Namun, timbul masalah ketika ada klaim lahan dari masyarakat setempat. Menurut Mas Ahmad Santosa, Deputi IV Bidang Hukum UKP4, ada tiga akar utama masalah konflik lahan sawit dengan masyarakat. Pertama, ketidakjelasan status lahan dan kepemilikan. Kedua, ketimpangan struktur kepemilikan, penguasaan, dan peruntukan tanah. Ketiga, adanya kelemahan dalam tata kelola pemerintahan.