Rasa Peranakan dan Nostalgia

By , Kamis, 27 Desember 2012 | 15:58 WIB

Atmosfer tempo dulu di restoran-restoran peranakan pada umumnya membuat pengunjungnya betah berlama-lama. Tak cuma bernostalgia di lidah saat menyantap makanan enak, mereka pun ingin menuntaskan nostalgia dengan menghirup aroma peranakan tempo dulu.

Di Jakarta setidaknya ada lebih dari setengah lusin restoran yang mengusung pendekatan "rasa" peranakan ini. Beberapa dari antaranya adalah "Tjap Toean" dan "Shanghai Blue 1920".

Restoran Tjap Toean pertama kali hadir di pusat perbelanjaan Citywalk Building, sebelum kemudian membuka cabang baru di fX Mall, Sudirman. Tjap Toean menghadirkan lebih dari 60 menu makanan dan minuman yang bisa dicicipi untuk sarapan, makan siang, makan malam, atau sekadar camilan. Makanan yang disajikan merupakan menu makan sehari-hari, seperti laksa, bacang, hingga nasi goreng tanjung priuk.

Tjap Toean membawa gaya warung pecinan yang biasa ditemui di Glodok tempo dulu. Suasana warung dibangun dengan menghadirkan aneka benda antik mulai dari rantang dan panci kuno hingga pintu harmonika yang dilengkapi gembok besar.

Miniatur bangunan warung zaman dulu turut dihadirkan di antara kursi dan meja dari kayu jati tua berkapasitas 110 orang. Dinding restoran berhiaskan poster gadis cantik Tionghoa dengan terpampang kredo "wok & roll", yang merupakan pelesetan dari rock and roll.

Etalase di bagian bar juga dibuat sama persis seperti kaca bersudut milik penjual bubur atau pedagang mi ayam yang biasa mangkal di Glodok.

Menurut pemilik Restoran Tjap Toean, Faizal Admodirdjo, mereka memang bertujuan membangun suasana nostalgia itu untuk setiap tamu yang datang ke restoran.

Berbeda dengan Tjap Toean, secara interior Shanghai Blue 1920 di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, tampil lebih berat. Pencahayaan remang-remang, foto-foto tempo dulu, poster-poster bergaya kuno, dan perabot yang gelap dan berat. Perlengkapan makan pun menggunakan piring-piring antik tiruan dari zaman dinasti Cina dan sendok logam yang terasa berat.

Shanghai Blue terinspirasi dari kisah kedatangan perantauan seorang pelaut asal Shanghai, bernama Nko Mo San, yang berlabuh di Sunda Kelapa sekitar akhir abad ke-19. Putra dari Nko Mo San, Chan Mo Sang, kemudian menikahi gadis Betawi bernama Siti Zaenab. Pasangan ini lalu mendirikan warung sederhana tempat minum teh, yang lama kelamaan populer sebagai tempat bercengkerama.

Beberapa masakan yang bisa dicoba di Shanghai Blue misalnya sop burung dara, sayur delapan macam, dan semur lidah Mpok Zaenab. Sop burung dara yang cocok sebagai pembuka ini dihidangkan cukup manis dengan mangkuk yang disisipkan dalam selongsong bambu. Daging burung dara dijadikan bakso dalam kuah kaldu bening dan beberapa iris umbi lotus cantik. Baksonya terasa lembut dan gurih, cocok dipadukan dengan irisan lotus yang renyah.

Sementara, sayur delapan macam merupakan tumisan serupa capcay yang terdiri dari jamur kuping hitam, jamur shitake, jamur champignons, kacang polong, kecambah, tahu, rebung, dan jagung mini. Tumisan ini terasa cocok disantap dengan semur lidah Mpok Zaenab yang didominasi rasa manis.

Masakan peranakan yang kental dipengaruhi oleh budaya peranakan China, merupakan contoh nyata dari akulturasi dalam kekayaan kuliner Indonesia.