Belajar dari Bencana: Perbedaan Sendai dan Aceh Pascatsunami

By , Kamis, 3 Januari 2013 | 14:17 WIB

Sudah satu windu sejak gempa tsunami Aceh 26 Desember 2004, Aceh telah dibangun kembali. Pembangunan itu lebih gemerlap dibanding pratsunami. Namun dari aspek mitigasi bencana, Aceh malah terbilang gagal.

Rumah-rumah itu dibangun kembali di tapak bencana, tepat di zona rentan tsunami. Nyaris tak ada revisi tata ruang, terutama di kota Banda Aceh. Padahal dengan bantuan 7,2 miliar dolar AS, Aceh bisa dibangun lebih baik.

Di sisi lain, ada Jepang yang juga mengalami bencana gempa dan tsunami, yang melanda wilayah timur lautnya pada Maret 2011. Kondisi pascatsunami di Sendai, Jepang, ini amat berbeda dengan di Aceh.

Koordinator Tsunami Research Group BPPT Widjo Kongko mengatakan, gempa Sendai menjadi terapi kejut bagi bangsa Jepang. Jepang sangat serius membenahi tata ruang agar tidak timbul banyak korban bila sewaktu-waktu terjadi tsunami lagi.

Menurut Widjo, Jepang memang "kecolongan" dengan gempa Sendai yang siklusnya terjadi 1.000 tahunan, akan tetapi setelah kejadian mereka sadar dan segera belajar dari kesalahan. Maka dibuatlah revisi tata ruang, standar bangunan, dan program mitigasi. Didasari kajian ilmiah yang kuat, dengan perencanaan dan langkah jelas.

Dampak yang dihasilkan dari gempa dan tsunami yang melanda Jepang, Maret 2011, gambar diambil dari helikopter. (Thinkstockphoto)

"Salah satu langkah yang diambil Jepang adalah program meninggikan area pesisir hingga 6 meter, dari ketinggian satu meter," ujar Widjo.

Untuk menata kawasan pascabencana menggandeng kalangan ahli, antara lain ahli geologi, tata ruang, sipil, dan sosial.

Indonesia pada April 2012 akhirnya mulai menyusun Masterplan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Tsunami yang bertujuan mengantisipasi ancaman bencana. Sebulan kemudian, draf masterplan selesai. Nilai anggaran yang diajukan sebesar Rp16,7 triliun dalam kurun lima tahun. Untuk 2013, disiapkan dana Rp1 triliun.

Namun sejumlah ahli gempa dan tsunami mengkritik keras masterplan tersebut, yang ditengarai terlalu tergesa disusun, tanpa punya landasan penelitian ilmiah memadai.

Widjo mengatakan, ia sudah mempelajari Masterplan Tsunami yang disusun BNPB. "Masih perlu banyak disempurnakan. Isinya lebih seperti kompilasi beberapa dokumen. Jangan hanya mengejar amanat presiden, masalah krusial diabaikan," tuturnya.

Salah satu kendala masterplan disusun dalam waktu sangat pendek adalah karena terdesak anggaran, kata Penasihat BNPB, Sudibyakto. Ia juga mengakui, peran akademisi dan peneliti diabaikan saat penyusunan. "Saya setuju bahwa seharusnya masterplan didasari penelitian rinci."

Yang kini diperlukan adalah kebesaran hati semua pihak untuk bersama memperbaiki Masterplan Tsunami, lepas dari silang sengkarut dan tumpang tindih lembaga. Jutaan warga tergantung keselamatannya pada cetak biru itu.