Hampir setiap bulan media massa di Indonesia ramai dengan berita perebutan lahan antara warga lokal dengan perusahaan. Keduanya memiliki argumen kuat mengenai siapa yang berhak atas sebidang tanah yang dipertentangkan.
Secara karakteristik, konflik agraria merupakan pertentangan klaim yang berkepanjangan atas akses mengenai satu bidang tanah, wilayah, dan sumber daya alam antara rakyat pedesaan, dengan pemegang konsesi agraria yang bergerak dalam bidang usaha produksi, ekstraksi, dan konservasi, dan pihak-pihak yang bertentangan tersebut bertindak secara langsung maupun tidak berusaha menghilangkan klaim pihak lain.
Menurut Direktur Sajogyo Institute Noer Fauzi Rachman, ada empat penyebab konflik agraria muncul di Indonesia. Pertama, pemberian izin oleh pejabat publik yang memasukkan wilayah kelola rakyat dalam bidang produksi, ekstraksi, maupun konservasi.
Kedua, penggunaan kekerasan dalam pengadaan tanah. Ketiga, eksklusi sekelompok masyarakat dari wilayah kelolanya. Terakhir, adanya perlawanan rakyat dari eksklusi itu.
"Akibatnya, akses masyarakat terhadap sumber daya alam semakin sempit. Akhirnya petani yang tadinya berhubungan dengan tanah menjadi pekerja upahan," kata Fauzi dalam diskusi hijau bertopik "Nasib Hutan Indonesia Ada di Tangan Generasi Muda," Selasa (8/1), di Universitas Nasional, Jakarta.
Selain itu, perlawanan dari masyarakat pun berpeluang melebar ke konflik lainnya. Termasuk konflik yang berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Anggota Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Martua Sirait menyatakan, konflik agraria di Indonesia muncul sejak zaman kolonial. Masalah ini sempat timbul tenggelam ketika terjadi pengalihan kekuasaan. "Tapi ketika tekanan terhadap kondisi iklim meningkat, konflik ini mulai terangkat kembali," ujar Martua.
Beberapa solusi sudah pernah dilahirkan untuk mengatasi konflik ini. Paling terbaru adalah Inpres Nomor 10 tahun 2011 mengenai Moratorium Izin Hutan dan Lahan Gambut yang berlaku selama dua tahun.
Tapi ditegaskan Martua, tidak mudah menyelesaikan sebuah konflik. "Karena kemampuan konflik baru lebih cepat dibanding proses penyelesaian konflik yang sudah ada."