Ulat di Plato Tibet memiliki musuh terbesar bernama Cordyceps sinensis atau biasa dikenal sebagai jamur ulat. Para ulat pasti mati ketika diserang oleh jamur ini.
Sebab, ulat diserang ketika berada dalam kondisi paling rapuh: saat berhibernasi. Dalam kondisi suhu minus 40 derajat Celcius di plato tersebut, para ulat wajib berhibernasi, dan di situlah para jamur ini menanti.
Tapi jamur ini berfungsi berbeda bagi manusia. Para peneliti menghasilkan obat bernama cordycepin yang berasal dari jamur Cordyceps. Obat ini dijanjikan berfungsi sebagai antikanker. Dijelaskan dalam jurnal yang dirilis di University of Nottingham School of Pharmacy, Inggris, cordycepin memiliki anti-inflamasi yang kuat.
Inflamasi adalah reaksi alami tubuh terhadap rangsangan negatif dan jadi bagian penting dari sistem imunitas manusia. Namun, inflamasi yang tidak terkontrol bisa menyebabkan asma, radang sendi, dan memperparah berbagai penyakit, termasuk kanker.
Obat anti-inflamasi yang ada saat ini tidak berkhasiat manjur bagi beberapa pasien. Di sinilah peran cordycepin dibutuhkan.
Meski demikian, masih diperlukan penelitian lebih mendalam sebelum akhirnya diujikan pada pasien. Saat ini, selain diketahui keunggulannya, cordycepin juga memiliki efek samping berupa melemahkan sistem imun dan menghalangi penyembuhan luka.
"Uji klinis terhadap cordycepin bukanlah rencana kami dalam waktu dekat. Karena kami harus mengerti obat ini secara rinci sebelum akhirnya mengambil risiko mengobati pasien dengannya," ujar kepala peneliti Cornelia de Moor, Senin (14/1).