Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Model di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, terus dikembangkan untuk pengelolaan hutan lestari. Hingga kini, menurut Welli Azwar, pelaksana tugas Kepala KPHP Kapuas Hulu, penataan kawasan hutan telah sampai pada blok dan petak hutan. “Hanya saja itu masih di atas peta.” Ada lima blok hutan di KPHP: Badau, Batang Lupar, Embaloh Hulu, Embaloh Hilir dan Putussibau Utara.
Penataan kawasan hutan menjadi penting untuk pengelolaan hutan, sehingga setiap pekerjaan di lapangan mudah dimonitoring dan diketahui lokasinya secara pasti. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model mengelola sebagian kawasan hutan Kapuas Hulu. Kegiatan ini terus didorong oleh Kementrian Kehutanan melalui Direktorat Wilayah dan Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan ini difasilitasi oleh GIZ FORCLIME.
Pengelolaan hutan yang membentang di sisi utara Sungai Kapuas ini akan menyokong daerah aliran Sungai Kapuas. Di sepanjang sungai itu, terdapat puluhan danau-danau yang menghidupi biota air tawar.
Di masa lalu, bentang alam perairan tawar ini membuat Kapuas Hulu dikenal sebagai negeri seribu danau. Hampir 70 persen pasokan ikan air tawar berasal dari sistem DAS Sungai Kapuas. Kini Kapuas Hulu kerap disebut sebagai negeri puncak Kapuas, yang tetap menyiratkan nilai penting bagi kawasan di sepanjang Sungai Kapuas.
Karena itulah, KPH perlu didukung untuk membentuk kelembagaan dan struktur administratif yang efektif. Hal itu diperlukan bila negara bermaksud memenuhi tanggung jawabnya atas tata kelola sumber daya alam yang baik. Ini untuk memastikan sumberdaya alam dikelola secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Dalam konteks pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD), di KPH Kapuas Hulu dilakukan Demostration Activity tahap pertama. Dalam konteks REDD, papar Indra Kumara, Kepala Bidang Pengelolaan Hutan Dinas Perkebunan dan Kehutanan, tidak dilakukan pembukaan lahan hutan untuk mengurangi laju pembukaan hutan. “Selain itu, juga akan menghasilkan pendapatan bagi masyarakat. Masyarakat itu perlunya sederhana, bisa menyekolahkan anak dan sandang pangan,” terang Indra.
Sejauh ini telah dilakukan sosialisasi tentang aktivitas Demonstration Activity REDD bagi masyarakat di desa penyangga. Ada 16 desa penyangga yang tersebar di tiga Kecamatan: Batang Lupar, Embaloh Hulu dan Embaloh Hilir. Singkatnya, program ini hendak mengurangi emisi dengan pengelolaan hutan lestari oleh masyarakat sekaligus menyejahterakannya. “Setelah sosialiasi dilakukan pemetaan partisipatif,” jelas Muhammad Irwan, teknisi kehutanan District Project Management Unit (DPMU). DPMU inilah pelaksana teknis tingkat kabupaten yang menggelar sosialisasi di 16 desa itu.
Pemetaan partisipatif dilakukan dengan mengajak masyarakat untuk membuat peta bersama, sehingga akan diketahui posisi lahan milik dan hutan negara (yang dikelola KPH). Pada akhir sosialisasi, dibuat berita acara sebagai tanda kesepakatan menerima Demonstration Activity selama 2012 hingga 2017. “Begitu juga kegiatan ini juga tidak akan mengambil lahan masyarakat,” lanjut Irwan. Kelak, bersama masyarakat, di dalam KPH akan dilakukan pengembangan hutan rakyat, hutan tanaman rakyat dan hutan desa.
Yang terpenting dalam REDD, sebenarnya adalah pengelolaan hutan lestari. “Itu yang kita lakukan, terserah nanti ada pasar karbon atau tidak; karbonnya laku atau tidak. Karbon itu hanya hasil ikutan,” tegas Indra.
Dengan begitu, yang menjadi fondasi adalah pengelolaan hutan lestari dan kesejahteraan masyarakat. “Kita sering lupa, sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Masyarakat yang dekat dengan hutan sering berada di bawah hidup layak, sementara yang berjarak jauh malah sejahtera.”
Lantaran itulah, program Demonstration Activity akan mendorong pemanfaatan lahan masyarakat yang masih kosong. Pada lahan milik rakyat, nantinya akan dikembangkan agroforestry atau tumpangsari: tanaman pokok berpadu dengan tanaman yang lain. Selama ini sebagian besar masyarakat masih melakukan pertanian gilir balik: membuka ladang secara bergantian. Seiring waktu, lantaran pertambahan penduduk, sementara luas lahan tetap jangka waktu gilir lahan makin pendek.
“Dulu, mungkin berjangka tujuh atau sepuluh tahun, sekarang hanya tiga sampai lima tahun.” Tak jarang, aktivitas gilir balik juga menyasar kawasan hutan negara. Untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, maka dilakukan upaya untuk mengajak masyarakat melakukan tumpangsari. Memang tidak semudah membalikkan tangan, namun perubahan paradigma itu diharapkan bisa mengurangi emisi dari degradasi dan deforestasi. “Budaya yang telah dilakukan secara turun temurun memang tak mudah diubah,” tutur Indra.
Dalam konteks REDD, dengan tidak membuka lahan hutan akan mengurangi laju pembukaan hutan. Selain itu, juga akan menghasilkan pendapatan. “Masyarakat itu perlunya sederhana, bisa menyekolahkan anak-anaknya dan kebutuhan sandang pangan.”
Kesatuan Pengelolaan Hutan bakal melakukan pengelolaan kawasan hutan bersama masyarakat. “Sehingga KPH akan berfungsi sebagai tempat pemasaran dan pengemasan dari hasil hutan,” kata Irwan. Dia mengatakan, masyarakat adat sejatinya telah mempunyai tata ruang hutan. Dia menyebut adanya hutan simpan misalnya. “Hutan simpan ini untuk persiapan masa depan demi memenuhi kebutuhan kayu untuk sarana umum atau rumah.”
Dengan begitu, KPH mengajak masyarakat bahu-membahu membangun hutan. “Di kehutanan itu tidak ada masalah, yang banyak tantangannya,” kata Indra. Tantangan itulah yang jika dipikul bersama banyak pihak akan terasa ringan, semua pihak akan saling mengisi.