Suara mesin pemotong rumput meraung-raung siang itu. Cuaca panas menghangatkan kebun kakao milik Mikha Yusuf di Lidung Keminci, Kecamatan Mentarang, Malinau, Kalimantan Timur. Rumput setinggi lutut dibabat dengan mesin pemotong. Potongan rumput dibiarkan terhampar. Sebelumnya, Mikha menyiangi rumput dengan menyemprotkan cairan kimia herbisida. Praktis dan tak perlu repot-repot.
Mikha belakangan tahu, cara itu tak ramah lingkungan: membuat tanah tak lagi subur. “Rumput dibersihkan tanpa racun, tapi ditebas atau dipotong. Potongan rumput bisa menjadi pupuk organik,” tutur Mikha di kebunnya. Begitu juga, sisa pemangkasan pohon kakao, dedaunan dan ranting di tumpuk di sekitar pangkal batang untuk asupan nutrisi. “Dikumpulkan jarak dari pangkal pohon agar tidak menjadi rumah hama dan jamur,” lanjutnya.
Semula, kebun yang ditanamnya sejak 2006 itu tanpa naungan vegetasi lain, tanaman kakao terpapar matahari langsung. Kebun seluas 3 hektare itu terbuka dan monokultur (hanya tanaman kakao). Akibatnya, kakao tumbuh kerdil, kering dan stres. “Seperti manusia, saat stres penyakit mudah menyerang,” jelas Ulrike Helberg, yang pernah mendampingi pelatihan agroforestry kakao GIZ Forest and Climate Change Program (FORCLIME).
Ulrike menjelaskan, kakao berasal dari hutan hujan tropis Amazon. Di sana, secara alami kakao umumnya tumbuh di lapisan hutan yang lebih rendah, dinaungi pepohanan.
Secara alami, dedaunan yang jatuh di lantai hutan memberi makanan bagi kakao. Sinar matahari yang sedikit menyentuh tanah juga mencegah rumput pengganggu tumbuh liar. Lantaran itulah, Mikha baru menyadari bahwa tanaman kakao butuh peneduh dan asupan nutrisi organik.
Di kebun Mikha kini dibuat plot percontohan untuk meniru suksesi alami hutan tropis. Pada plot percontohan, disela deretan kakao ditanami tanaman berkayu seperti gamal dan lamtoro, tanaman buah: klengkeng, jeruk, dan pisang. Untuk menambah keanekaragaman tumbuhan bawah, Mikha juga menanam kacang koro, nanas dan ubi gajah. Kacang koro misalnya bisa menutupi tanah sehingga menghambat tumbuhnya gulma.
Ide dasarnya, menurut Ulrike, adalah meningkatkan keanekaragaman hayati, dengan tajuk berlapis-lapis di kebun kakao. “Dengan luas lahan sesedikit mungkin, tapi banyak hasil kebun,” tutur sarjana kehutanan dari Universitas Gottingen, Jerman, itu.
Beragam tanaman kebun memberi banyak pilihan kepada petani untuk memperoleh pendapatan lebih. “Saya baru saja panen pisang 300 sisir. Satu tanaman ubi gajah menghasilkan sampai 50 kilogram ubi,” kata Mikha, yang pensiunan pegawai negeri sipil.
Pola penanaman dengan beberapa strata beragam tanaman tersebut kerap disebut agroforestry alias tumpangsari yang bisa memperpanjang masa produksi kakao. “Solusi monokultur kakao selama ini adalah banyak bunga berarti banyak menghasilkan buah kakao. Tapi itu hanya bertahan 25 tahun, lama-lama kakao stres, lalu mati,” jelas Ulrike.
Sementara itu, dengan cara tumpangsari, kakao bisa berproduksi 60 sampai 80 tahun. Ulrike mengakui hasil dari tumpangsari lebih sedikit ketimbang cara monokultur. Namun, dia mengingatkan bahwa petani tak perlu biaya untuk membasmi gulma, penyakit dan hama. Lagipula pada monokultur, “Usia produktif kakao hanya 25 tahun, setelah itu turun drastis.”
Pengalaman berharga datang dari seberang perbatasan Malinau, yaitu Malaysia. Pada 1980-an, kakao negeri jiran itu tumbuh dengan pupuk kimia dan pestisida. Harga yang masih rendah di pasar dunia pada 1990-an, plus biaya produksi yang tinggi, membuat industri kakao Malaysia runtuh. “Hasil kakao Malaysia turun drastis, yang sempat menjadi lima besar produsen kakao dunia menjadi 20. Malaysia tidak punya solusi untuk masalah monokultur kakao,” terang Ulrike.
Tumpangsari dapat mencegah pengalaman pahit itu terjadi di Indonesia, yang kini menjadi produsen kakao terbesar ke-4 dunia. Tumpangsari dipadukan dengan disiplin perawatan bakal membuat tanaman kakao tetap produktif. Nah, di kebun kakao Mikha, petani lain bisa belajar praktik tumpangsari. “Buktinya saya bisa (menanam tumpangsari kakao),” papar Mikha.