Rasa Keadilan Agraria Diserukan

By , Jumat, 8 Februari 2013 | 12:00 WIB
()

Rasa keadilan agraria mulai terbentuk. Para akademisi dan pegiat di bidang agraria Indonesia bergerak membentuk Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria, yang secara resmi diumumkan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (7/2).

Forum ini akan mengawal proses penanganan konflik agraria. Kelompok yang terdiri atas pengajar, periset, pemerhati, dan aktivis tersebut diketuai oleh Soeryo Adiwibowo. Sekitar 100 orang yang sudah dihimpun juga akan menyampaikan surat terbuka (petisi) mengenai pandangan dan usulan kepada Presiden RI, dengan dukungan kelompok akademisi dan masyarakat sipil.

Direktur dari Epistema Institute, Myrna Safitri, yang didapuk sebagai Sekretaris Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria, menyatakan, mereka turut menyuarakan pendapat dan menyatukan langkah demi bersama berkontribusi terkait keprihatinan terhadap konflik agraria di tengah negara ini.

"Para akademisi berpendapat, konflik agraria selama ini karena sejumlah faktor antara lain hukum dan kebijakannya. Peraturan perundang-undangan yang mengatur SDA dan lingkungan tidak sinkron dengan peraturan yang mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi," kata Myrna.

Ia menambahkan, pembangunan Indonesia yang berprinsip pada keseimbangan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, serta pelestarian fungsi lingkungan yang didesain pemerintah sekarang, tidak bisa tercapai jika konflik agraria tak diselesaikan.

Penebangan pohon secara ilegal marak terjadi di kawasan hutan lindung , Manee, Pidie, yang juga masuk ke dalam kawasan hutan Ulu Masen, Aceh. Kurangnya lapangan kerja dan meningkatnya kebutuhan ekonomi, menjadi faktor utama masyarakat setempat lebih memilih untuk menebang kayu di kawasan hutan mereka. (Zian Mustaqin/Fotokita.net)

Dalam beberapa tahun terakhir konflik agraria kian meningkat. Berdasarkan kajian dari Badan Pertanahan Nasional, sekitar 8.000 konflik pertanahan belum terselesaikan hingga kini.

Laporan tahunan Konsorsium Pembaruan Agraria 2012, menyebutkan, pada 2010 terdapat 106 konflik, naik menjadi 163 pada 2011. Tahun 2012 tercatat 198 kasus. Sementara lembaga nonpemerintah Sawit Watch menyebut, ada sekitar 660 kasus di perkebunan sawit.

Bersamaan dengan konflik-konflik ini, kriminalisasi dan kekerasan pun menimpa petani. Di tahun 2012 lalu, tercatat 156 petani ditahan tanpa proses hukum yang benar, 55 orang mengalami luka-luka penganiayaan, 25 orang tertembak, tiga orang tewas.

Mengatasi akar masalah

Menurut guru besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada, Maria Sumardjono yang ikut menandatangani petisi, konflik-konflik agraria yang terjadi tergolong serius, masif, berdampak luas, dan luar biasa. "Jadi harus disikapi dengan cara-cara luar biasa pula. Kami harapkan, bisa ada sebuah kelembagaan independen yang tanggung jawabnya menyelesaikan konflik agraria, hingga ke akar masalah konflik dicari jalan keluar," tutur Maria.

Ia menyoroti masalah pada ketimpangan dalam akses sumber daya alam. "Akses cenderung lebih besar bagi kalangan yang punya posisi tawar ketimbang yang tidak punya posisi tawar itu," tambahnya.

Macam konflik yang muncul di berbagai daerah amat beragam. Suhariningsih dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya mengungkapkan, dasar penyebab konflik yang dapat teridentifikasi yaitu konflik kepentingan antara rakyat dengan investor, konflik kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah, konflik pengelolaan kawasan (baik hutan, lahan pertanian, pertambangan, atau pesisir), sampai konflik fisik yang berujung tindak kekerasan yang melanggar hak asasi manusia.