Candra Naya, dari Mayor Cina ke Cagar Budaya

By , Selasa, 26 Februari 2013 | 17:10 WIB
()

Tjandranaya – demikian ia terdaftar dalam Bangunan Cagar Budaya di DKI Jakarta, Kotamadaya Jakarta Barat – yang bersejarah, secara pribadi juga menorehkan catatan sendiri dalam perjalanan hidup saya. Di sinilah saya menempuh ujian masuk perguruan tinggi negeri – dari rumah saya di Kebayoran, Jakarta Selatan, sehari sebelum ujian, saya memerlukan survei penelusuran untuk memastikan rute kendaraan dan jarak tempuh agar tak tersesat dan tak terlambat tiba di tempat

Tujuan yang bisa menentukan masa depan itu. Saya terpana ketika menemui bangunan khas Tionghoa yang tak saja masih terawat baik, tapi saat itu pun ramai oleh kegiatan. Salah satu yang saya ingat, menjadi markas Komunitas Lembaga Fotografi Candra Naya. Seperempat abad kemudian, saya menjejak kembali ke gedung yang dibangun pada 1807 oleh Khouw Tian Sek (Khouw Teng Sek) dengan suasana agak jauh berbeda.

Kalau saja tak diberipetunjuk “masuk dari Novotel Gajah Mada” mungkin gedung di Jalan Gajah Mada Nomor 118 ituakan terlewatkan. Ia sudah dinaungi bangunan hotel – Novotel Gajah Mada – dan di latar belakangnya telah berdiri superblock Grand Central City. Bangunan utama tempat saya menempuh ujian, masih ada.

Gedung Candra Naya yang awalnya bernama Landhuis Kroekoet dan dilindungi oleh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Gedung ini awalnya dimiliki keluarga tuan tanah Khouw yang salah satu keturunannya, Khouw Kim An oleh Belanda diangkat menjadi Majoor de Chineezen, pemimpin masyarakat Cina semasa 1910-1916 dan 1927-1942.

Tokoh Cina ini menjadi tawanan semasa Pendudukan Jepang. Usai Perang Dunia II, Candra Naya ditempati Sin Ming Hui (Yayasan Terang Hati) dengan kegiatan beragam dari perkumpulan olahraga, poliklinik sampai klub fotografi tertua di Jakarta yang didirikan pada 1948 dengan nama Sin Ming Hui Photographic Society.

Secara arsitektur dan pernik interior – ornamen kecapi, papan catur, lukisan – Candra Naya memang menunjukkan pemiliknya adalah cendekiawan kaya raya yang menghargai ilmu pengetahuan dan seni. Ornemen gedung berlantai marmer ini dirancang dengan sentuhan mewah kayu hitam bercat warna emas bernilai seni tinggi.

Gedung Candra Naya, Jakarta Barat. (Christantiowati/NGT)

Pintu masuk utama berhias empat aksara Cina, balok kuda-kuda di ruang utama berhias ukuran empat ekor singa, panel pintu ruang keluarga, kamar tidur,ruang pelayanan, ruang tamu, ruang sembahyang dan altar berhias corak tumbuhan. Penghias atap justru sederhana, mirip dua tanduk bertumpuk dengan ujung mencuat ke atas tanpa patung naga.

Sampai 1992, Candra Naya masih digunakan sebagai gedung sekolah. “Pemugaran dimulai 1993. Kami berusaha mempertahankan seutuh mungkin penampilan bangunan. Pemugaran dilakukan atas persetujuan Tim Sidang Pemugaran dari Dinas Kebudayaan DKI Jakarta," papar Naniek Widayati, Ketua Pelestarian dan Pemugaran Candra Naya dalam kesempatan perayaan Cap Go Meh 2013, Senin (25/2).

Ada tambahan panel besi tak terlihat untuk memperkuat struktur ornamen yang ditemukan sudah miring 30 derajat. Dengan penguatan, kini posisinya kembali tegak 90 derajat seperti semua. Ada bagian sayap bangunan yang dipindahkan sementara untuk jalur keluar masuk truk pembangunan. Setelah selesai, pihak Naniek mengembalikan seperti semula.

Suasana sekitar Candra Naya memang tak lagi seperti dulu. Setidaknya, kita masih menemui jejak kejayaan masa silam, jejak imigran Cina daratan yang semula datang ke Tegal lalu hijrah ke Batavia, dan hanya dalam satu generasi berhasil meningkatkan taraf hidup menjadi kaya raya.