Beberapa tahun terakhir jumlah pendaki yang mencoba mencapai titik puncak Gunung Everest, yang merupakan puncak tertinggi di dunia, meningkat. Saking ramainya pendaki, pemandangan di Base Camp pun menyerupai sebuah kota kecil.
Tidak sedikit yang kemudian mengaitkan keramaian di kawasan pendakian akan meningkatkan bahaya. Namun, data analisa pendaki justru menunjukkan bahwa jumlah kematian per pendakian benar-benar menurun.
"Setiap ada yang meninggal di Everest, media massa memberitakannya secara berlebihan. Saya merasa tunggu dulu, mari kita benar-benar melihat faktanya," terang Alan Arnette yang sudah empat kali ke Everest dan sekali mencapai puncaknya.
Dari data statistik yang dicari Arnette, ditemukan bahwa tingkat kematian per pendakian hingga puncak menurun secara signifikan. Ketika pendakian Everest dikomersialisasi pada 1990, tingkat rata-rata kematian adalah 5,56 persen. Namun sejak tahun 2000, jumlah tersebut merosot menjadi 1,5 persen. Ini lebih rendah dari rata-rata keseluruhan tingkat kematian sebesar 3,2 persen sejak tahun 1922.
Ellen Miller, wanita AS pertama yang mendaki Everest dari kedua sisi, setuju bahwa inovasi keselamatan telah meminimalisir risiko pendakian dibanding beberapa dekade lalu.
"Para pendaki Armchair mengatakan Everest sekarang berbahaya karena terlalu padat. Tapi persepsi saya justru lebih aman sekarang dibanding 50 tahun lalu," ungkap Miller.
Inovasi yang berkembang adalah prediksi cuaca dan komunikasi. Faktor lainnya yang mendukung keselamatan yaitu peningkatan tanggung jawab outfitters komersial, penggunaan jalur, dan kemitraan yang lebih baik.
Dengan perkembangan ini, tragedi yang terjadi pada tahun 1996 dapat dihindarkan. Kala itu, badai menghantam Everest, delapan orang dikabarkan meninggal dunia selama kurun waktu dua hari pada bulan Mei.