Konsumen kerajinan kayu Indonesia di Eropa mulai menerapkan peraturan kayu yang legal diproduksi. Para konsumen ini mewajibkan setiap produsen kayu Nusantara mempunyai dokumen legalitas dari proses pemanenan hingga produk jadi.
Dokumen legalitas yang terwujud dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) ini merupakan cara yang dianggap ampuh memerangi illegal logging. Dari sisi lingkungan, SVLK memastikan adanya keberlanjutan lingkungan hutan Indonesia.
Ujicoba pengiriman kayu SVLK sudah dilakukan pada pertengahan Oktober hingga November 2012 lalu ke sembilan negara Eropa. SVLK selanjutnya akan bersinergi dengan European Union Timber Regulation (EUTR) yang diterapkan sejak 3 Maret 2013 lalu.
Menurut Dwi Sudharto, Direktorat Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan, kayu "halal" bersertifikat SVLK juga menghasilkan keuntungan materi lebih. Berdasarkan data Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK), total pendapatan nilai eksport kayu dengan dokumen V-Legal Januari - Februari 2013 mencapai lebih dari US$534 juta (lebih dari Rp5 triliun).
Bandingkan dengan pendapatan tahun 2012 di bulan yang sama, di mana berdasarkan data BPS, hanya mencapai US$237 juta (Rp2,3 triliun). "Ini merupakan data riil. Buyer (pembeli) meminta adanya kayu ber-SVLK dan Indonesia bisa memenuhi itu," ujar Dwi saat diskusi "Kesiapan Industri Furnitur Indonesia dalam Penerapan EU Timber Regulation dan SVLK" di Jakarta, Senin (11/3).
Menurut Bayu Krisnamurthi sebagai Wakil Menteri Perdagangan RI, SVLK jangan dianggap sebagai dokumen pemuas rekanan dagang Indonesia. Peraturan kayu legal ini justru ada karena masyarakat Indonesia mencintai hutan dan masa depannya.
"Kalau hanya memuaskan rekanan kita, rasanya cape karena ada banyak sekali peraturan kayu dari tiap negara. Maka itu SVLK itu adalah peraturan kita untuk kepentingan kita," ujar Bayu.
Colin Crooks, Deputi Duta Besar Komisi Eropa, menambahkan, Uni Eropa merupakan konsumen bagi 15 persen produk kayu jadi Indonesia. Pihaknya bukan hanya menghargai hasil karya Tanah Air, tapi juga keberlanjutan hutannya.
"Pihak kami tidak perlu lagi mengecek status legal suatu kayu karena Indonesia sudah melakukannya lewat SVLK," kata Crooks. Dipaparkannya lagi, meski proses SVLK tidak mudah bagi pengusaha kecil, mereka ternyata bisa bersatu untuk mendapat sertifikat legal tersebut.
Saat ini sudah ada 1.500 perusahaan bersertifikat SVLK, membuat Crooks makin optimis bahwa hasil hutan Indonesia masih bisa terus dinikmati hingga tahun-tahun berikutnya.