Mengamankan Benteng Pertahanan Terakhir

By , Kamis, 14 Maret 2013 | 13:35 WIB

Berpotensi terhadap kehancuran hutan terbesar di Aceh dan salah satu yang terbesar di Indonesia, kelompok masyarakat sipil membuat petisi yang dengan tegas meminta Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh: Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, serta pemangku-pemangku kepentingan terkait, untuk membatalkan rancangan tata ruang Aceh.

"Kami juga meminta dunia internasional, yang selama ini telah mendukung konservasi dan perlindungan hutan Aceh untuk membantu dengan dukungan teknis dan finansial untuk mengubah peraturan merugikan ini," demikian antara lain pernyataan yang tertulis dalam petisi.

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baru, jumlah area yang dialokasikan untuk masyarakat hanya sekitar satu persen dari area hutan yang rencananya akan dibuka (atau sekitar 14.704 ha). Alokasi terbesar ditujukan ke pertambangan (hampir satu juta ha), konsesi logging (416.086 ha), dan konsesi kebun sawit (256.250 ha).

Bahkan tidak lagi dicanangkan pengakuan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai Kawasan Strategis Nasional, serta dihilangkan mengenai pencadangan Kawasan Hutan Ulu Masen sebagai Kawasan Strategi Provinsi seluas 750.000 hektare.

Megafauna

Hampir setengah tutupan hutan di Sumatera yang masih terjaga ada di Aceh. Terdapat dua blok hutan sangat penting dari sisi daya dukung lingkungan, Leuser dan Ulu Masen. Di dalamnya tersimpan kekayaan hayati dari megafauna dan megaflora, ditambah punya fungsi pengaturan air (hidrologi) yang tinggi.

"Mengapa kami amat peduli terhadap hutan Aceh? Hutan Aceh memiliki populasi satwa langka endemik, harimau sumatra, gajah, orangutan, dan badak, yang semua ini sangat bergantung pada masa depan hutan," tutur Efendi Isma, juru bicara dari Koalisi Penyelamatan Hutan Aceh (KPHA) dalam konferensi pers yang membahas masalah tersebut, di Jakarta, Rabu (13/3).

Ia mencoba menjelaskan, bila konsesi pertambangan dan perkebunan diaktifkan kembali, jumlah layer hutan di Aceh akan berkurang pesat. Setelah itu, yang akan terjadi adalah para satwa kehilangan tempat tinggal, kemudian memicu gangguan (konflik) antara hewan dengan manusia.

"Dan seperti sebelum-sebelumnya, pada akhirnya hewan yang selalu kalah," tambah Graham Usher, konsultan perencanaan hutan lindung pada Sumatran Orangutan Conservation Programme.