Sejak awal Januari 2013 lalu, Pemerintah Daerah Raja Ampat mengimplementasikan regulasi perlindungan spesies hiu di wilayah perairannya.
"Masih marak terjadi penangkapan ikan secara ilegal, khususnya jenis hiu dan pari manta, sehingga pemda didukung sejumlah kemitraan masyarakat berupaya menegakkan batasan hukum demi pelestarian kawasan konservasi, suaka biru kami, yang bertujuan menunjang perkembangan wisata bahari berkesinambungan," ujar Bupati Raja Ampat Marcus Wanma dalam sambutan pada Simposium Nasional Perlindungan Hiu di Jakarta, Selasa (19/3).
Andrew Miners, Manager Misool Eco Resort di Raja Ampat, sepakat mengenai kepentingan perlindungan hiu bagi sektor pariwisata pula.
Sebab ketika memilih destinasi penyelaman, penyelam akan menempatkan objek wisata hiu dan pari manta sebagai urutan paling atas. "Untuk para penyelam, melihat langsung hiu, pari manta, serta jenis-jenis pari lainnya merupakan puncak dari pengalaman wisata selam."
"Survei terpisah yang dilaksanakan di Kepulauan Maldives, Bahama, Palau, dan Australia sudah menghitung nilainya. Keuntungan dari wisata selam ke kawasan dengan hiu dan lain-lain jauh melebihi potensi keuntungan dari penangkapan hiu," papar Andrew, yang melanjutkan bahwa pendapatan pariwisata terhitung dapat mencapai sekitar Rp145 miliar per tahun.
Kepulauan Raja Ampat terletak di bagian ujung barat laut Provinsi Papua Barat, tepat di jantung Segitiga Terumbu Karang yang merupakan pusat keanekaragaman hayati laut dunia.
Namun, "harta karun" Raja Ampat ini juga membuatnya dihantui dengan ancaman eksploitasi besar-besaran. Dengan adanya lima lokasi seluas 800-900 ribu hektare kawasan konservasi yang telah dicadangkan oleh pemerintah Raja Ampat; hiu, pari manta, serta berbagai jenis satwa yang sangat penting itu akan memperoleh suaka.