Pengusaha Kayu Sulit Penuhi Tenggat Waktu SVLK-PHPL

By , Rabu, 20 Maret 2013 | 14:34 WIB
()

Sejak diperkenalkan pada 2009 silam, Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Indonesia (SVLK) resmi diterapkan pada Januari 2013. Perusahaan pengelola kehutanan diberi tenggat waktu hingga akhir Maret 2013 untuk mendapatkan SVLK tersebut.

SVLK menjadi syarat utama perdagangan hasil kayu dan wajib (mandatory) dimiliki pengusaha. Sistem ini sengaja dibangun sebagai suatu sistem jaminan legalitas kayu dalam rangka pencapaian Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL).

SVLK juga menjadi pintu bagi pengusaha yang memasarkan produknya di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Australia. Konsumen di wilayah-wilayah itu hanya mau menerima produk dengan seritifikasi V-Legal SVLK.

Menurut Rahardjo Benjamin, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), ada beberapa hal yang melancarkan sebuah perusahaan mendapat SVLK. Di antaranya komitmen pendanaan, pengurus, dan pendampingan dari pihak konsultan.

"Tapi saat ini, Maret merupakan deadline SVLK, Juni deadline PHPL, rasanya sulit tercapai. Waktunya mepet dan merupakan pekerjaan rumah yang besar," kata Rahardjo ketika ditemui dalam acara "TBI - APHI 6th Signing Event: Combined Certification for Legality (SVLK) and Sustainability (PHPL-FSC) in Natural Forest Management in Indonesia," di Jakarta, Rabu (20/3).

Hutan yang terkelola baik akan menyokong peradaban sekitar, termasuk menjaga aliran sungai di wilayah Berau, Kalimantan Timur (Dwi Oblo/NGI)

Anggota APHI saat ini mencapai 425 perusahaan dengan hanya 215 perusahaan yang aktif. Perusahaan yang mendapat SVLK sebanyak 35 untuk hutan alam dan 23 untuk hutan tanaman. Sedangkan mereka yang mendapat PHPL sebanyak 91 perusahaan untuk hutan alam dan 35 untuk hutan tanaman.

Kesulitan anggota APHI ini coba difasilitasi oleh The Borneo Initiatve (TBI) --yayasan nirlaba berbasis di Belanda. Dikatakan Jesse Kuijper, Anggota Dewan Eksekutif TBI, SVLK merupakan standar internasional tinggi yang diterapkan pertama kali oleh Indonesia.

"Komitmen kami adalah membantu pengusaha ini untuk membangun hutan lestari dengan sertifikat mandatory (SVLK) dan voluntary (FSC --Forest Stewardship Council)," kata Kuijper.

Hingga saat ini, TBI memfasilitasi serifikat skema SFC untuk 37 perusahaan kehutanan di Indonesia dengan luas keseluruhan 3,7 juta hektare. Delapan di antaranya berhasil mendapatkan sertifikat FSC.

Dirjen Bina Usaha Kehutanan di Kementerian Kehutanan Bambang Hendroyono menyambut baik semua dukungan untuk mencapai target SVLK-PHPL. Menurutnya, membangun SVLK sama juga berkontribusi untuk mengatasi persoalan penebangan ilegal.