Begitu jam belajar pukul 08:00 – 11:00 WIT usai, Magda, Riani dan Musa yang bersepatu, sandal, atau bertelanjang kaki melonjak-lonjak dari SD YPK Filadelfia di puncak bukit, persis di sisi gereja, yang berdiri sejak awal 1960-an.
Tak sabar segera pulang ke imyea (rumah panggung) kayu atau gaba-gaba (tulang daun sagu), berbatas tepi Danau Sentani dengan Pegunungan Cycloops, Jayapura, Papua, menghijau berselimut kabut di seberang.
Tiga bocah murah senyum ini langsung duduk santai, menghadapi lembaran kulit kayu kombow di meja kayu rendah. Cekatan melukis daun sagu, burung cenderawasih, ikan, kura-kura, cicak, tokek, buaya. motif daun sagu, siku burung, kura-kura –lambang kemakmuran.
“Sehari rata-rata saya bisa membuat sepuluh lukisan,“ lirih Magda, nyaris berbisik. Hasilnya biasa dibeli langsung pengunjung yang diantar dari dermaga tepi danau dengan speedboat. Satu lukisan ukuran 20 x 30 sentimeter dijual Rp15.000. Di Pasar Seni Hamadi, Jayapura, harganya sekitar Rp5.000 lebih tinggi. Tapi di sini, saya temui juga lembaran 10 x 10 sentimeter seharga Rp5.000.
Pulai Asei di 70 – 90 meter di Distrik Sentani Timur, sepuluh kilometer selatan Jayapura, Papua adalah satu dari tiga pulau terpenting di kawasan tadah hujan Danau Sentani. Kampung Asei hanya sederet lurus, berbatas setapak kaki lima ke kaki bukit, dihuni 320 kepala keluarga.
Melukis jadi keterampilan temurun di Asei, yang sejak Juni 2008 menjadi tuan rumah agenda tahunan Festival Danau Sentani. Sampai 1980-an, kulit kayu kombow hanya digunakan sebagai daka homo (pakaian), cidako (celana untuk kaum pria), pembungkus jenazah, dan alas penaruh kapak batu dalam perundingan mas kawin.
Lukisannya bercorak mitologi, lambang kekerabatan, marga, nilai suci kematian, keseharian warga Sentani. Lambang kepercayaan tentang semesta.
Kini, bagi wisatawan menjadi kanvas lukisan dengan tiga warna dasar, hanya menggunakan tiga jenis warna. Hitam, dari arang, jelaga belanga dicampur minyak kelapa, mencerminkan dunia fana. Putih dari kulit kerang dan sagu (kebesaran suku). Merah dari tanah liat, batu merah dicampur getah kayu susu, kapur sirih, pralambang keperkasaan suku.
Magda dan kawan-kawan adalah anak-anak merdeka. Melukis adalah bagian dari dunia bermain lain: kasti, berenang atau memancing kayou/khabehei alias gabus sentani (Oxyeleotris heterodon) dan pelangi sentani (Chilatherina sentaniensis). Semua dilakukan dengan hayi (perahu perempuan), iva (perahu lelaki, lebih ’kurus’ selebar hanya cukup untuk duduk satu orang, satu perahu maksimal untuk tiga orang), atau bolotu, lebih panjang dan lebar dari hayi, yang didayung atau bermotor tempel.