Dari Surakarta ke Yogyakarta untuk Jawa

By , Rabu, 24 April 2013 | 15:23 WIB

“Lahir di Solo [Surakarta] tetapi berkembangnya di Mataram,” ungkap Trisno Santoso yang akrab disapa dengan nama panggungnya, Pelok. Lelaki berusia 55 tahun itu merupakan Dosen Institut Seni Indonesia Surakarta, Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Seni Pedhalangan. Hampir setiap bulan dia didaulat untuk pentas di paguyuban teater dan ketoprak yang dikelola para seniman muda.

Perjalanan ketoprak sangatlah panjang dan terseok. Meskipun lahir di Surakarta pada awal abad ke-20 lewat ketoprak lesung, akhirnya ketoprak meninggalkan kota itu menuju Yogyakarta. Tampaknya, saat itu wayang orang jauh lebih berkembang ketimbang ketoprak. Lantaran masyarakat kota lebih mengapresiasi wayang orang, ketoprak hidup di pinggiran.

“Ketoprak itu kesenian orang bawah,” ujar Pelok yang mencoba melukiskan pandangan orang tentang ketoprak pada awal abad ke-20. “Tetapi, wayang orang itu kesenian orang berada.”

Barbara Hatley, seorang Profesor Emeritus dari University of Tasmania Australia, pernah menulis tentang perkembangan ketoprak dalam Javanese Performances on An Indonesian Stage. Pada 1925, menurut Hatley, rombongan ketoprak Krida Madya Utama asal Surakarta melawat ke Klaten dan Prambanan. Lalu, berpentas di Dusun Demangan, Yogyakarta.

Selama beberapa minggu kemudian banyak rombongan ketoprak bermunculan dan mendapatkan sambutan yang meriah di pinggiran Kasultanan Yogyakarta. Ketoprak akhirnya mulai dipentaskan di kediaman para keluarga Sultan.

“Berkembang di Mataram bukan berarti sudah menggunakan srepeg [iringan gending pembuka] Mataram,” kata Pelok. “Mereka masih menggunakan lesung juga.” Di Yogyakarta kesenian ini mengalami perkembangan pesat, bahkan berkembang di Jawa Timur, hingga pesisir utara Jawa. “Semuanya masih kental dengan Yogya!”

Ketoprak bukan lagi milik Kasunanan Surakarta atau Kasultanan Mataram Yogyakarta—meski awalnya mereka merupakan payung embrio ketoprak—melainkan milik masyarakat sebagai pusaka Tanah Jawa. Jadi bukan hal garib lagi apabila pagelaran ketoprak di Taman Balekambang Surakarta pun sampai saat ini umumnya menggunakan iringan dan busana gaya mataraman.

“Pertunjukan ketoprak masih tetap menarik,” ungkap Pelok. “Tetapi kalau diuangkan memang sepertinya sulit.” Ketoprak sebagai seni pertunjukan komersial yang berdiri sendiri tampaknya masih mengalami kesulitan—tanpa ada sponsor. Namun, saat ini rombongan ketoprak bisa hidup lantaran diundang untuk memenuhi kebutuhan hajatan.

Meskipun demikian, Pelok melihat bahwa kesenian yang berakar pada kearifan setempat ini kelak tetap lestari. Dia menyaksikan sendiri bahwa ada sebuah kelompok ketoprak di Surakarta yang sudah lama tidak berpentas, namun saat kembali berpentas beberapa waktu lalu pemirsanya sudah kembali lagi.

Artinya, peminat seni pertunjukan ini sejatinya masih banyak. “Kalau saya tetap optimis,” ujar Pelok, “ketoprak sampai kapan pun pasti tetap ada walaupun bentuknya entah seperti apa.”

Simak Kelana Ketoprak Jawa yang dikemas dalam buklet National Geographic Traveler edisi Mei 2013. Berkisah seputar sejarah ketoprak dan semangat warga desa yang giat merawat tradisi seni pertunjukan ini. Ikuti juga kuis mingguan bertema Budaya Ketoprak di web National Geographic Indonesia, dan menangkan merchandise khas dari kami.