Autisme dapat Terdeteksi Sejak di Kandungan

By , Kamis, 25 April 2013 | 15:35 WIB

Risiko seorang bayi menyandang autisme dapat diketahui sejak ia masih berada dalam plasenta. Caranya, dengan mendeteksi lebih awal ketidaknormalan dalam plasenta yang menaunginya.

Dengan demikian akan tercipta diagnosa awal yang menjadi dasar penanganan. Itu merupakan hasil kesimpulan dari para pakar di Yale School of Medicine, AS, yang dikeluarkan dalam jurnal Biological Psychiatry, Kamis (25/4).

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), setiap tahunnya di AS, satu dari 50 anak yang lahir didiagnosa dengan gangguan spektrum autisme. Namun, diagnosa ini biasanya tercipta ketika si anak sudah berusia tiga atau empat tahun. Dalam usia ini, peluang terbaik untuk pengobatan sudah lewat karena otak lebih responsif terhadap pengobatan pada tahun pertama kehidupan.

Diketahui oleh Harvey Kliman, penulis laporan ini dan peneliti dari Yale, plasenta yang abnormal mengandung pertumbuhan sel yang tidak normal pula. Sel yang disebut inklusi trofoblas merupakan penanda utama bahwa si jabang bayi berisiko menyandang autisme.

Untuk sampai pada kesimpulan ini, Kliman memeriksa 117 plasenta dari keluarga yang berisiko --anak sebelumnya pernah menyandang autisme. Plasenta dari keluarga awal ini dibandingkan dengan 100 plasenta lain yang dikumpulkan oleh peneliti dari UC Davis namun dari area geografi sama.

Plasenta dari keluarga berisiko mengandung 15 inklusi trofoblas. Sedangkan plasenta dari UC Davis memiliki tidak lebih dari satu atau dua inklusi trofoblas. Dikatakan Kliman, plasenta dengan empat atau lebih inklusi trofoblas, memiliki kemungkinan 96,7 persen risiko autisme.

"Saya harap pemeriksaan plasenta akan menjadi hal rutin dan anak yang menunjukkan adanya perkembangan inklusi trofoblas dapat diobati dari awal. Dan, hasil dari tes ini adalah peningkatan kualitas hidup," ujar Kliman.

Saat ini, penanda risiko autisme adalah rekam jejak kelurga. Pasangan dengan anak autis, sembilan kali lebih mungkin untuk memiliki anak lain dengan autisme. Ditambahkan Kliman, pasangan yang berisiko seperti ini bisa merencanakan strategi awal untuk pencegahan.