Penyerangan tiga pendaki Everest yang terdiri dari Simone Moro dari Italia, Ueli Steck (Swiss), dan Jonathan Griffith pendaki dan fotografer dari Inggris, oleh sherpa --penduduk asli Himalaya yang tinggal di Nepal dan Tibet, terkenal dengan keahliannya mendaki gunung-- beberapa waktu lalu merupakan akibat dari komesialisasi Gunung Everest secara besar-besaran. Bentuk "penjualan" Everest ini dilakukan tanpa memperhatikan akar kebudayaan dan penduduk setempat.
Hal tersebut diungkpkan oleh Pete Athans, seorang pendaki gunung yang telah tujuh kali mencapai puncak Gunung Everest dan telah berpartisipasi dalam 15 ekspedisi di sana. Ia kini aktif mendukung kebudayaan Sherpa dan membantu dalam bidang kesehatan dan pendidikan di pedesaan Everest.
Menurt Athans, komerisalisasi akan Gunung Everest telah mendatangkan begitu banyak pendaki dari beragam bangsa dengan ambisi terpendam menaklukkan puncak tertinggi dunia. Situasi ini mengakibatkan wilayah Everest menjadi penuh sesak dan mengusik penduduk setempat yakni Sherpa. Sherpa merasa ruang mereka menjadi terbatas dengan semakin banyaknya pendaki yang berdatangan.
"Jelas ada kompetisi untuk berbagi wilayah di gunung. Ini menciptakan suasana tegang dan kompetitif," ujar Athans. Peristiwa penyerangan yang dilakukan oleh Sherpa sebenarnya bukanlah pertama kalinya terjadi.
Tahun 1996 bahkan, mereka membunuh sekelompok orang yang tak mereka kenal. Kelompok orang tersebut berada di titik yang sangat tinggi di mana dikenal dengan zona kematian. Fakta yang terjadi ialah Simone dan kawan-kawan berada di titik tersebut (zona kematian).
Kejadian ini di satu sisi memang mengejutkan, namun di sisi lain tidak. "Yang mencengangkan ialah Simone jelas hidup, bekerja dan menghabiskan banyak waktunya di sana, rasanya sulit dipercaya jika Ia tidak sensitif terhadap keberadaan orang-orang tersebut," kata Athans.
Sementara keberadaan para pendaki membuat tekanan bagi Sherpa. Setiap satu Sherpa biasanya memandu satu pendaki. Dengan begitu banyaknya pendaki sekarang jelas harus memiliki kemampuan yang lebih canggih agar cepat sampai di puncak dengan melewati jalan yang aman. Mereka pula bertanggung jawab membersihkan gunung pascapendaki selesai mencapai puncak.
Menurut Athans, suku Sherpa sebenarnya orang yang sangat sabar. Namun jika mereka merasa terusik, disiksa dan didiskriminasi mereka cenderung bereaksi.