Demi Gengsi, Hiu Diburu

By , Senin, 13 Mei 2013 | 11:30 WIB
()

Hiu adalah salah satu spesies yang hampir punah. Sebagai predator teratas, hiu mengontrol distribusi populasi hewan laut dalam rantai makanan. Namun ikan hiu terus diburu demi sebuah kebanggaan, prestise.

Laporan Traffic.org selama tahun 2000 - 2010 menyebut, Indonesia adalah penangkap hiu terbesar di dunia. Penangkapan besar-besaran ini akibat lonjakan jumlah permintaan pasar terhadap produk hiu. Produk tersebut diekspor dalam bentuk sirip, minyak hati, kulit, bahkan dagingnya. Hal ini diungkapkan dalam jumpa pers terkait kampanye Save Our Sharks #SOSharks di Jakarta, Jumat lalu (10/5).

Efransjah, CEO WWF-Indonesia, menggarisbawahi, perburuan hiu dapat merusak keseimbangan rantai makanan dalam ekosistem laut dan akhirnya berdampak negatif bagi ketahanan pangan Indonesia. Populasi hiu yang sehat dan beragam berperan penting untuk menyeimbangkan ekosistem laut, termasuk menjaga kelimpahan ikan-ikan bernilai ekonomis lainnya yang kita konsumsi.

"Selama ini banyak orang makan sirip hiu hanya karena gengsi semata," ujar penyanyi Nugie yang ikut melibatkan diri pada kampanye publik tidak mengonsumsi atau membeli produk yang terbuat dari bagian tubuh hiu ini.

Dua figur publik, Ringgo Agus (kiri) dan Nugie, menyerukan stop konsumsi sirip dan produk-produk hiu lainnya dalam jumpa pers kampanye Save Our Shark (SOShark) di Jakarta, Jumat (10/5).

Nugie memperhatikan, secara sejarah dari bangsa Cina kuno sup hiu menjadi santapan untuk raja atau keluarga kerajaan. Sebab itu, hiu dianggap makanan mahal dan hanya untuk kaum terbatas karena sulit didapat. "Saya pernah tanya ke orang yang mengonsumsi, apa fungsinya makan itu? Ternyata tak ada. Awet muda itu hanya mitos," tambahnya.

Andrian Ishak, seorang chef yang mendalami molecular gastronomy menjelaskan, "Sirip hiu itu pada dasarnya tasteless, rasa dihasilkan dari racikan bumbu pada kuah sup."

Sebagai juru masak ia berusaha berinovasi membuat makanan yang teksturnya mirip sirip hiu, dengan bahan-bahan lebih sehat dan lebih enak, lebih ramah lingkungan pula. Salah satu contohnya, sebut Andrian, ceker ayam yang mengandung kolagen lebih tinggi daripada hiu.

Meski begitu, menurut Andrian masih banyak chef yang belum mengetahui tentang keadaan tersebut sedemikian jauh. "Di situ saya pikir perlu kampanye," tegasnya.

Perubahan pada perilaku konsumsi hiu penting untuk memelihara kelangsungan hidup hiu dan kelestarian alam. Seperti testimoni pakar kuliner William Wongso yang menyatakan, "Tidak pantas lagi bangga makan hiu! Orang modern harus lebih peduli pada alam dan lingkungan. Berhentilah makan hiu karena populasinya telah menurun. Bila hiu habis, seluruh ikan di laut akan ikut habis. Saya ingin anak-cucu saya tetap bisa makan ikan."