Harapan Baru Keanekaragaman Hayati dari Halimun-Salak

By , Rabu, 22 Mei 2013 | 12:36 WIB

Center for International Forestry Research (CIFOR), Selasa (21/5) ini baru merilis hasil rekaman kamera pantau yang dipasang di alam liar, di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, yang berada di wilayah Banten dan Jawa Barat. Di dalam video itu tertangkap berbagai gambar: ribuan rusa, kijang, musang, burung, dan tikus; termasuk gambar mengesankan dari sang pemangsa, yaitu macan tutul jawa (Panthera pardus melas), di area tersebut.

Macan tutul jawa telah masuk pada daftar merah kategori spesies kritis (critically endangered) di IUCN. Serta masuk dalam satwa dilindungi di Undang-undang No. 5/1990 Tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya.

Menurut Ken Sugimura, peneliti asal Jepang yang mengepalai proyek penelitian bersama CIFOR dan Institut Pertanian Bogor ini, ia sangat senang dapat menemukan masih ada macan tutul terancam punah di lokasi yang hanya beberapa jam jauhnya dari Jakarta. Kawasan lindung Taman Nasional Gunung Halimun-Salak yang luasnya 113.000 hektare menjadi "rumah" habitat bagi satwa dan flora terkaya di Indonesia.

Javan leopard, alias macan jawa, adalah salah satu kucing besar yang hanya bisa ditemukan di pegunungan, hutan tropis dan kawasan konservasi di Pulau Jawa. Dibanding dengan ragam macan tutul lain, subspesies macan tutul jawa berukuran paling kecil, dan punya indra penglihatan dan penciuman yang tajam. Populasi macan tutul Jawa yang tersisa dan berada di alam liar masih belum diketahui, diperkirakan sekitar 250 hingga 700 ekor.

Berdasarkan laporan dari IPB, antara tahun 1989 - 2004, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sudah kehilangan 25 persen hutannya akibat pembalakan liar dan aktivitas pembukaan hutan.

Terry Sunderland, seorang ilmuwan senior dari CIFOR, turut menyatakan bahwa ketika lahan hutan berubah menjadi lahan-lahan perkebunan dan penggunaan lahan lainnya, akibatnya manusia dan satwa liar yang tadinya hidup berdampingan menjadi bersaing untuk mendapat sumber daya hutan. "Jadi semakin dekat manusia mendatangi satwa liar, satwa liar pun menjadi lebih dekat ke manusia, dengan demikian terjadilah konflik," tambah Terry.

Deforestasi untuk kayu komersial, minyak kelapa sawit, hingga perkebunan dan pertanian, memberikan tekanan besar bagi taman nasional. Tekanan akan kebutuhan lahan ini semakin mengancam keanekaragaman hayati.

Indonesia adalah salah satu negara dikenal sebagai negara megabiodiversitas. Kini eksploitasi hutan, gambut, sungai, danau, dan laut, secara berlebihan dikhawatirkan bisa berdampak memusnahkan kekayaan hayati yang dimiliki Indonesia.

Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia sejak tahun 2000 diperingati tanggal 22 Mei, yang pada waktu itu merupakan hari selesainya naskah perjanjian Convention on Biological Diversity (CBD) atau Konvensi Keanekaragaman Hayati.