Berdasarkan investigasi Forum Masyarakat dan LSM Aceh Tamiang Untuk Kelestarian Hutan Aceh, di hulu Sungai Tamiang hingga ke Kabupaten Gayo Lues sudah puluhan titik longsor yang bisa mengancam kehidupan masyarakat sepanjang Sungai Tamiang.
Hasil tersebut dipaparkan pada sebuah rilis di Kuala Simpang, Kamis (30/5). Selama 15 hari investigasi sejak tanggal 28 April 2013 lalu, Forum Masyarakat dan LSM Aceh Tamiang terus memantau kondisi hulu sungai secara berkala. "Selain longsornya, kami menemukan sumbatan di muara anak sungai yang membentuk danau," ungkap Haprijal Roji atau Rozi, salah satu anggota forum.
Keberadaan danau ini baru. Luas danau sekitar dua hektare dengan kedalaman diperkirakan satu hingga dua meter. Dengan volume dan luas danau yang terus meningkat akibat tingginya curah hujan, keadaan ini dapat jadi potensi bahaya.
Ditemukan juga bahwa debit Sungai Sikundur, salah satu hulu Sungai Tamiang, telah berubah dari sebelumnya kedalaman air sekitar satu hingga tiga meter menjadi 20 - 50 sentimeter. Tetapi jika hujan deras dalam waktu satu sampai dengan dua jam, debit air akan meningkat pesat sehingga tidak bisa dilewati.
Forum Masyarakat Aceh Tamiang pun menolak konversi (perubahan fungsi) kawasan hutan di Aceh yang termaktub di Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh --walaupun pemerintah Aceh dan Kementerian Kehutanan telah membantah soal luasan lahan 1,2 juta hektare yang akan dibuka.
"Aceh Tamiang juga akan menerima dampak kerusakan hutan di Aceh Timur dan Gayo Lues, hulu sungai Tamiang berada di kedua Kabupaten tersebut. Rakyat Aceh Tamiang akan menderita bila rencana itu disahkan oleh pemerintah pusat," ujarnya.
Rozi menyatakan, "Kami menolak satu hektare hutan pun diubah fungsinya menjadi area penggunaan lain, apalagi diperuntukkan bagi para pengusaha atau pemodal besar."
Menurut kajian, dari 2.048 hektare ini terdapat lahan milik sedikitnya 20 orang pengusaha dengan kepemilikan lahan berkisar 20 hingga 100 hektare yang telah ditanami kelapa sawit. Hanya kurang dari 300 hektare lahan yang digunakan oleh masyarakat setempat.
Matsum, seorang anggota forum lainnya menegaskan, "Kami butuh kelestarian hutan untuk masa depan rakyat Aceh. Dalih investasi di hutan Aceh merupakan pembodohan. Investasi ini akan memusnahkan rakyat Aceh."
Longsor dan banjir bandang
Menurut Rudi Putra, peneliti Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang jugalah warga masyarakat Aceh Tamiang, longsor memang banyak sekali ditemukan. Bahkan ada lebih dari seratus titik longsor di hulu sungai yang ia dapati ketika melakukan penelitian keragaman hayati di wilayah Gayo Lues.
"Saat melakukan penelitian saya juga beberapa kali terjebak ke dalam area longsor, karena berpedoman pada peta yang dibuat pada tahun 1977/1978. Ketika sampai di lokasi tersebut ternyata tidak bisa dijalani lagi karena terputus oleh longsor. Penyebab utama mudahnya longsor adalah sistem lahan yang sangat labil di Leuser, termasuk hulu Tamiang," kata Rudi.
Sistem lahan bukit pandan bercirikan memiliki lapisan tanah yang tipis serta dilapisi oleh batuan yang kedap air. Ketika curah hujan tinggi, batuan yang tidak menyerap air ini akan menolak seluruh air yang tidak terserap oleh tanah dan tumbuhan di atasnya. Bila ditambah dengan penebangan kayu dan perubahan fungsi hutan, maka longsor lebih cepat terjadi.
Akumulasi dari material longsor ini akan menimbun mulut anak-anak sungai. Pada bagian hulu Sungai Tamiang terdapat ratusan anak sungai. "Dan apabila seluruh mulut anak sungai ini tertutup membentuk bendungan yang sangat banyak, maka akan ada begitu besar bendungan-bendungan ini menampung volume air. Sewaktu curah hujan tinggi, bendungan ini bisa saja pecah, menumpahkan airnya ke hilir. Akan terjadilah banjir bandang yang tentu sangat mengerikan," tambahnya.