Maret 2013. ”Ke sini saja. Ada Pak Tosca.” Begitu SMS yang masuk ke ponsel saya. Pada senja yang dilingkupi cahaya kuning kemerah-merahan itu saya sedang berjalan di pematang ladang. Jadilah kami berkenalan dan berbincang-bincang.
Hal-hal yang ingin saya konfirmasi kepada Tosca setelah membaca novelnya mengenai Kampung Sarongge yang terletak pada lereng bagian timur Gunung Gede, Jawa Barat, kini mendapatkan jawaban.
Sejak era reformasi, area hutan yang tadinya dikelola Perhutani diserah-kelolakan kepada taman nasional. Kekeliruan masa lalu dalam penggunaan area hutan, yang berstatus dilindungi, ingin diperbaiki.
Hutan di Taman Nasional Gede-Pangrango menjadi tempat bernaung aneka satwa termasuk yang terancam punah seperti elang Jawa dan owa Jawa. Kekayaan yang dikandung oleh hutan bahkan termasuk bahan-bahan pengobatan.
Cendekiawan lingkungan Jatna Supriatna pernah mengatakan, ”Setidak-tidaknya, kalau kita belum paham dan belum menguasai teknologi untuk memanfaatkan hasil hutan untuk berbagai kegunaan yang lebih luas, janganlah sampai keburu habis ditebangi.”
Jatna mengatakan hal itu dalam konteks maraknya hasil hutan Indonesia diselundupkan ke luar negeri untuk diekstrak dan dijadikan aneka jenis obat-obatan penting pada beberapa tahun lalu.
Bahan-bahannya tumbuh di tanah Indonesia, namun patennya dimiliki bangsa lain. Lalu masyarakat Indonesia membeli obat-obatan itu. Dengan harga mahal.
”Buah dan hasil hutan lainnya menurut saya juga dapat dimanfaatkan secukupnya oleh masyarakat,” kata Tosca kepada saya. Ia berkisah tentang buah teter yang dapat digunakan sebagai pestisida alami karena aromanya tidak disukai serangga.
Di Gede-Pangrango, setidaknya, kawasan taman nasional yang dirambah oleh petani harus dikembalikan kepada fungsi yang seharusnya. Lalu bagaimana nasib para petani yang telanjur turun-temurun berladang di sana?
Tosca, melalui Green Radio yang didirikannya, menggagas solusi yang bukan hanya mendorong harapan untuk melakukan reboisasi namun juga memperbaiki nasib dan pilihan hidup petani. Sejak lima hingga enam tahun lalu pelaksanaan reboisasi dikelola oleh radio ini dengan taman nasional serta masyarakat setempat sebagai mitranya.
Mereka mengundang berbagai perusahaan, organisasi, bahkan individu-individu, untuk ikut serta dalam reboisasi. Sekaligus membantu meningkatkan kesejahteraan petani.
Dana dari program adopsi pohon digunakan untuk mencari bibit pohon, kegiatan menanam, trekking sambil mengenal aneka jenis tumbuhan di lereng gunung, serta memberi manfaat bagi petani yang mendapat insentif karena ikut merawat pohon di ladang sayuran mereka.
Kaum perempuan didampingi dalam pertemuan-pertemuan kecil yang dipandu oleh sukarelawan seperti Yulia ”Nana” Nadya dan Emma Piper. Tujuannya untuk mendapatkan inovasi dan keterampilan baru yang berpotensi menyokong pemasukan keluarga.
Pohon-pohon yang disediakan untuk diadopsi adalah jenis-jenis yang berasal dari TNGP sendiri. Sebagian di antaranya endemik. Rasamala yang dapat tumbuh setinggi 40-60 meter, misalnya. Pohon itu merupakan salah satu sarang favorit elang Jawa. Namun, pohon yang di Pulau Jawa hanya tumbuh di bagian barat ini kian langka.
Kisah Sarongge: Ladang Sayur di Lereng Gunung klik di sini